MAKALAH
AKUNTANSI
KEUANGAN SYARIAH
AKAD
ISTISHNA
Diajukan
Sebagai
Tugas
E-Learning Pertemuan 10
Dosen Pengampu :
Lucky Nugroho, SE,
MM, M.Ak
Disusun oleh:
Sherly Jihan Adina (33217010001)
UNIVERSITAS
MERCU BUANA
PROGRAM
STUDI D3 AKUNTANSI
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS
JAKARTA
KATA
PENGANTAR
Saya
ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada semua yang telah mendukung untuk
mempersiapkan makalah ini hingga selesai. Saya bersyukur atas rahmat dan ridho
Allah SWT, makalah ini dapat tersusun dengan baik. Makalah ini ditujukan untuk
penyelesaian tugas E-Learning Saya yang berjudul “Akad Ishtisna” dalam mata
kuliah yang saya ambil yakni Akuntansi Keuangan Syariah yang di ajarkan oleh
dosen pengampu Saya Lucky Nugroho, SE, MM, M.Ak
Dalam penyusunan ini Saya masih
banyak kesalahan tulisan maupun tata bahasa, kesalahan dari makalah ini menjadi
tanggung jawab Saya. Saya menerima kritik maupun saran pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................... 4
1.1 Latar
Belakang........................................................................................................ 4
1.2 Rumusan
Masalah................................................................................................... 4
1.3 Tujuan..................................................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................... 5
2.1 Perbedaan
Murabahah, Salam, dan Istishna........................................................... 5
2.2 Skema Akad
Istishna.............................................................................................. 15
2.3 Jurnal Akad
Istishna............................................................................................... 17
BAB III KESIMPULAN...................................................................................................... 19
BAB IV DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 20
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia sedang
mengalami kemajuan yang pesat. Pernyataan ini ditandai dengan jumlah aset yang
dimiliki sektor perbankan syariah. Seperti yang dilansir oleh sindonews pada
hari selasa, 6 September 2016 bahwa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat per
Juni 2016, sektor perbankan syariah memiliki total aset sebesar Rp 306,23
Triliun. Aset perbankan syariah tersebut tumbuh sebesar 11,97% dibandingkan
periode yang sama tahun sebelumnya.
Hal ini tentu merupakan kebanggaan tersendiri bagi
sektor perbankan syariah karena perbankan syariah masih terbilang baru di
Indonesia akan tetapi mampu menyaingi perbankan konvensional, bahkan ketika
terjadi krisis ekonomi
tahun 1997 perbankan syariah mampu bertahan dengan tetap memberikan kinerja
yang cukup baik sehingga pemerintah dan otoritas moneter berupaya membantu
perkembangannya melalui peluncuran dual banking system dengan terbitnya UU No. 10
Tahun 1998. Kemudian dengan lahirnya UU No. 21 Tahun 2008 semakin memperjelas
landasan operasi bagi bank syariah dan menjadi tonggak penting nasib perbankan
syariah di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah :
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini yakni sebagai
berikut:
1.
Apa Perbedaan Murabahah, Salam dan
Istishna?
2.
Bagaimana Skema Akad Istishna?
3.
Bagaimana Penjurnalan Akad Istishna?
1.3 Tujuan :
Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini ialah sebagai
berikut:
1.
Mengetahui
Perbedaan Mudharabah, Salam dan Istishna.
2.
Mengetahui
Skema Akad Istishna.
3.
Mengetahui Bagaimana Penjurnalan
pada Akad Istishna.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perbedaan
Akad Murabahah, Salam dan Istishna
1.
Jual Beli Murabahah
A. Pengertian
Jual Beli Murabahah
Kata murabahah
berasal dari kata ribhu (keuntungan). Sehingga murabahah berarti saling
menguntungkan. Jual beli murabahah secara terminologis adalah pembiayaan saling
menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-mal dengan pihak yang membutuhkan
melalui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan
harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan laba atau keuntungan bagi shahib
al-mal dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur. Jual beli
murabahah adalah pembelian oleh satu pihak untuk kemudian dijual kepada pihak
lain yang telah mengajukan permohonan pembelian terhadap suatu barang dengan
keuntungan atau tambahan harga yang transparan. Akad ini merupakan salah satu
bentuk natural certainty contracts, karena dalam murabahah ditentukan berapa keuntungan
yang ingin diperoleh.
Murabahah
merupakan salah satu bentuk jual beli dimana penjual memberikan informasi
kepada pembeli tentang biaya-biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan komoditas
(harga pokok pembelian), dan tambahan profit yang diinginkan yang tercermin dalam
harga jual. Murabahah bukanlah merupakan transaksi dalam bentuk memberikan
pinjaman/kredit pada orang lain dengan adanya penambahan interest/bunga, akan
tetapi ia merupakan jual beli komoditas. Jual beli ini menekankan adanya
pembelian komoditas berdasarkan permintaan nasabah, dan adanya proses penjualan
kepada nasabah dengan harga jual yang merupakan akumulasi dari biaya beli dan
tambahan profit yang diinginkan.
Murabahah
merupakan kontrak penjualan dengan habis penangguhan pembayaran dan harga yang
ditentukan dengan dasar fixed mark up profit. Harga mark up ini bukan
dihubungkan dengan penundaan pembayaran, karena jika pihak yang didanai
mengalami default pada saat jatuh tempo maka jumlah yang harus dibayar tetap
sama. Mark up sebagai tingkat keuntungan
yang diperoleh pemilik dana berkaitan dengan jasanya dalam memeroleh barang dan
resiko yang dihadapi dalam upaya perolehan tersebut. Dalam transaksi ini, A
meminta B untuk membeli komoditi dengan spesifikasi tertentu, setelah B
mendapatkannya menjual kepada A dengan murabahah.
Murabahah
berbeda dengan jual beli biasa (musawamah) dimana dalam jual beli musawamah
terdapat proses tawar-menawar (bargaining) antara penjual dan pembeli untuk
menentukan harga jual, dimana penjual juga tidak menyebutkan harga beli dan
keuntungan yang diinginkan. Sedangkan murabahah, harga beli dan margin yang
diinginkan harus dijelaskan kepada pembeli.
B. Syarat
dan Rukun Murabahah
Akad jual beli murabahah akan sah
apabila memenuhi beberapa syarat berikut:
a. Mengetahui
harga pokok (harga beli), disyaratkan bahwa harga beli harus diketahui oleh
pembeli kedua, karena hal itu merupakan syarat mutlak bagi keabsahan jual beli
murabahah. Jika harga beli tidak dijelaskan kepada pembeli kedua dan ia telah
meninggalkan majlis, maka jual beli dinyatakan rusak dan akadnya batal.
b. Adanya
kejelasan margin (keuntungan) yang diinginkan penjual kedua, keuntungan harus
dijelaskan nominalnya kepada pembeli kedua atau dengan menyebutkan presentase
dari harga beli.
c. Modal
yang digunakan untuk membeli objek transaksi harus merupakan barang mitsli,
yaitu terdapat padanannya di pasaran, alangkah baiknya jika menggunakan uang.
Jika modal yang dipakai merupakan barang qimi/ghair mitsli, misalnya pakaian
dan marginnya uang, maka diperbolehkan.
d. Akad
jual beli pertama harus sah adanya, artinya transaksi yang dilakukan penjual
pertama dan pembeli pertama harus sah, jika tidak maka transaksi yang dilakukan oleh penjual
kedua (pembeli pertama) dengan pembeli kedua hukumnya fasid/rusak dan akadnya
batal.
C. Dasar
Hukum Jual Beli Murabahah
Murabahah
merupakan akad jual beli yang diperbolehkan, hal ini berlandaskan atas
dalil-dalil yang terdapat dalam Al Qur’an, Al Hadits ataupun ijma ulama. Di
antara dalil (landaan syariah) yang memerbolehkan praktik akad jual beli
murabahah adalah sebagai berikut :
a.
“Hai orang yang beriman, janganlah
kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu” (QS.
An Nisa : 29). Ayat ini melarang segala bentuk transaksi yang batil. Di antara
transaksi yang dikategorikan batil adalah yang mengandung bunga (riba)
sebagaimana terdapat pada sistem kredit konvensional. Berbeda dengan murabahah,
dalam akad ini tidak ditemukan uunsur bunga, namun hanya menggunakan margin.
Ayat ini juga mewajibkan untuk keabsahan setiap transaksi murabahah harus
berdasarkan prinsip kesepakatan kedua pihak yang dituangkan dalam suatu
perjanjian yang menjelaskan dan dipahami segala hal yang menyangkut hak dan
kewajiiban masing-masing.
b.
“...dan
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al Baqarah :
275). Dalam ayat ini, Allah memertegas legalitas dan keabsahan jual beli secara
umum, serta menolak dan melarang konsep ribawi. Berdasarkan ketentuan ini, jual
beli murabahah mendapat pengakuan dan legalitas dari syara’, dan sah untuk
dioperasionalkan dalam praktik pembiayaan bank syariah karena ia merupakan
salah satu jual beli dan tidak mengandung unsur ribawi.
c.
Dari Abu Said al Khudri bahwa Rasulullah
bersabda : “Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka”. Hadits
ini yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan Ibnu Majah ini merupakan dalil atas
keabsahan jual beli secara umum. Hadits ini memberikan prasyarat bahwa akad
jual beli murabahah harus dilakukan dengan adanya kerelaan masing-masing pihak
ketika melakukan transaksi. Segala ketentuan yang yang terdapat dalam jual beli
murabahah, seperti penentuan harga jual, margin yang diinginkan, mekanisme
pembayaran dan lainnya, harus terdapat persetujuan dan kerelaan antara pihak
nasabah dan bank, tidak bisa ditentukan secara sepihak.
D. Penerapan Murabahah Dalam Lembaga Keuangan
Syariah
Cara operasi
bank syariah hakikatnya sama saja dengan bank konvensional, yang berbeda hanya
dalam masalah bunga dan praktik lainnya yang menurut syariat islam tidak
dibenarkan. Bank ini memang tidak menggunakan konsep bunga seperti bank
konvensional lainnya.
Produk dalam
bank syariah yaitu pembiayaan dengan margin (murabahah), dalam produk ini
terjadi transaksi antara pembeli (nasabah) dan penjual (bank). Bank dalam hal
ini membelikan barang yang dibutuhkan nasabah (nasabah yang menentukan
spesifikasinya) dan menjualnya kepada nasabah dengan harga plus keuntungan.
Jadi produk ini, bank menerima laba atas jual beli. Harga pokoknya sama-sama
diketahui oleh dua belah pihak. Apa yang dibeli nasabah, uang atau pinjaman?
Tentu bukan uang dan bukan juga pinjaman, karena menjual uang dengan benda sejenis dengan imbalan
lebih adalah riba dalam terminologi islam. Nasabah menerimanya dalam produk
yang diinginkan melalui bank, produk ini biasanya modal kerja dan berjangka
pendek.
Murabahah
merupakan salah satu bentuk penghimpun dana yang dilakukan oleh perbankan
syariah, baik untuk kegiatan usaha. secara umum, nasabah pada perbankan syariah
mengajukan permohonan pembelian suatu barang. Dimana barang tersebut akan
dilunasi oleh pihak bank syariah kepada penjual, sementara nasabah bank syariah
melunasi pembiayaan bank tersebut kepada bank syariah dengan menambah sejumlah
margin kepada pihak bank sesuai dengan kesepakatan yang terdapat pada
perjanjian murabahah yang telah disepakti sebelumnya antara nasabah dengan bank
syariah. Setelah itu pihak nasabah dapat melunasi pembiayaan tersebut baik
dengan cara tunai maupun dengan cara kredit.
2.
Jual Beli Salam
A. Pengertian
Jual Beli Salam
Secara
terminologi, jual beli salam ialah menjual suatu barang yang penyerahannya
ditunda, atau menjual suatu barang yang ciri-cirinya disebutkan dengan jelas
dengan pembayaran modal terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan
dikemudian hari.
Jual beli salam ialah menjual sesuatu yang
tidak dilihat zatnya, hanya ditentukan dengan sifat, barang itu ada di dalam
tanggungan si penjual. Misalnya si penjual berkata, “ Saya jual kepadamu satu
meja tulis dari jati, ukurannya 140x100 cm, tingginya 75 cm, sepuluh laci,
dengan harga Rp. 100.000,- “. Pembeli pun berkata, “ Saya beli meja dengan
sifat tersebut dengan harga Rp. 100.000,-”. Dia membayar uangnya sewaktu akad
itu juga, tetapi mejanya belum ada. Jadi, salam
ini merupakan jual beli utang dari pihak penjual dan kontan dari pihak
pembeli karena uangnya telah dibayarkan sewaktu akad.
B. Rukun
dan Syarat Salam
Sebagaimana jual
beli, dalam akad salam harus terpenuhi rukun dan syaratny. Adapun rukun salam
adalah sebagai berikut:
a. Muslam
atau pembeli
b. Muslam
ilaih atau penjual
c. Modal
atau uang
d. Muslam
fiihi atau barang
e. Sighat
atau ucapan
Syarat-syarat
salam sebagai berikut:
a. Uangnya
dibayar di tempat akad, berarti pembayaran dilakukan terlebih dahulu
b. Barangnya
menjadi utang bagi penjual
c. Barangnya
dapat diberikan sesuai dengan waktu yang dijanjikan. Berarti pada waktu
dijanjikan barang tersebut harus sudah ada. Oleh sebab itu, men-salam
buah-buahan yang yang waktunya ditentukan bukan pada musimnya tidak sah
d. Barang
tersebut hendaklah jelas ukuranny, takarannya, ataupun bilangannya, menurut
kebiasaan cara menjual barang itu
e. Diketahui
dan ditentukan sifat-sifat dan macam barangnya dengan jelas, agar tidak ada
keraguan yang mengakibatkan perselisihan antara dua belah pihak. Dengan sifat
itu, berarti harga dan kemauan orang pada barang tersebut dapat bebeda
f. Disebutkan
tempat menerimanya.
C. Perbedaan
antara Jual Beli Salam dengan Jual Beli Biasa
Semua
syarat-syarat dasar suatu akad jual beli biasa masih tetap ada pada jual beli
salam. Namun ada beberapa perbedaan antara keduanya. Misalnya :
a. Dalam
jual beli salam, perlu ditetapkan periode pengiriman barang, yang dalam jual
beli biasa tidak perlu.
b. Dalam
jual beli salam, komoditas yang tidak dimiliki oleh penjual dapat dijual; yang
dalam jual beli biasa tidak dapat dijual.
c. Dalam
jual beli salam, hanya komoditas yang secara tepat dapat ditentukan kualitas
dan kuantitasnya dapat dijual, yang dalam jual beli biasa, segala komoditas
yang dapat dimiliki bisa dijual, kecuali yang dilarang oleh Al Quran dan hadits.
d. Dalam
jual beli salam, pembayaran harus dilakukan ketika mebuat kontrak; yang dalam
jual beli biasa, pembayaran dapat ditunda atau dapat dilakukan ketika
pengiriman barang berlangsung.
Jadi,
kita dapat menyimpulkan bahwa aturan asal pelarangan jual beli yaitu tidak
adanya barang, telah dihapuskan dengan pertimbangan kebutuhan masyarakat
terhadap kontrak salam.
D. Dasar
Hukum Jual beli Salam
Landasan syariah
dari jual beli salam terdapat di dalam Al Qur’an dan hadits:
a. Dalam
surat Al-Baqarah ayat 282: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya.”
Dalam kaitan ayat tersebut, Ibnu
Abbas menjelaskan keterkaitan ayat tersebut dengan transaksi bai’ as-salam. Hal
ini tampak jelas dari ungkapan beliau, “Saya bersaksi bahwa salaf (salam) yang
dijamin untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan oleh Allah pada kitab-Nya
dan diizinkan-Nya.” Ia lalu membaya ayat tersebut.
b. Al-Hadits
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa
Rasulullah saw. datang ke Madinah dimana penduduknya melakukan salaf (salam)
dalm buah-buahan (untuk jangka waktu) satu, dua, dan tiga tahun. Beliau
berkata: “Barang siapa melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan
takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang
diketahui.”
Dari hadits lain: dari Shuhaib r.a.
bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Tiga hal yang di dalamnya terdapat
keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur
gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR Ibnu
Majah)
E. Salam
Paralel
Salam paralel
berarti melaksanakan dua transaksi bai’ as-salam antara bank dan nasabah, dan
antara bank dan pemasok (suplier) atau pihak ketiga lainnya secara simultan.
Dewan pengawas syariah Rajhi Banking dan Investment Corporation telah
menetapkan fatwa yang membolehkan praktik salam paralel dengan syarat
pelaksanaan transaksi salam kedua tidak bergantung pada pelaksanaan akad salam
yang pertama. Beberapa ulama kontemporer memberikan catatan atas transaksi
salam paralel, terutama jika perdagangan dan transaksi semacam itu dilakukan
secara terus-menerus. Hal demikian diduga akan menjurus kepada riba.
F. Pembiayaan
Salam Pada Perbankan Syariah
Salam adalah
transaksi jual beli dimana barang yang diperjualbelikan belum ada. Oleh karena
itu, barang diserahkan secara tangguh sementara pembayaran dilakukan tunai.
Bank bertindak sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Sekilas
transaksi ini mirip jual beli ijon, namun dalam transaksi ini kualitas, kuantitas,
harga dan waktu penyerahan barang harus ditentukan secara pasti.
Dalam praktik
perbankan, ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka bank akan
menjualnya kepada rekanan nasabah atau nasabah itu sendiri secara tunai atau
secara cicilan. Harga jual yang ditetapkan oleh bank adalah harga beli bank
dari nasabah ditambah keuntungan. Dalam hal bank menjualnya secara tunai
biasanya disebut pembiayaan talangan (bridginng financing). Adapun dalam hal
bank menjualnya secara cicilan, kedua pihak harus nmenyepakati harga jual dan
jangka waktu pembayaran.
Harga jual
dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah
selama berlakunya akad. Umumnya transaksi ini diterapkan dalam pembiayaan
barang yang belum ada seperti pembelian komoditas pertanian oleh bank untuk
kemudian dijual kembali secara tunai atau secara cicilan.
Ketentuan umum
pembiayaan salam dalah sebagai berikut :
a. Pembelian
hasil produksi harus diketahui spesifikasinya secara jelas seperti jenis,
macam, ukuran, mutu, dan jumlahnya. Misalnya, jual beli 100 kg mangga harum
manis kualitas A dengan harga Rp. 5000/kg, akan diserahkan pada panen dua bulan
mendatang.
b. Apabila
hasil produksinyang diterima cacat atau tidak sesuai dengan akad, maka nasabah
(produsen) harus bertanggung jawab denagn cara antara lain mengembalikan dana
yang telah diterimanya atau mengganti barang yang sesuai pesanan.
c. Mengingat bank tidak menjadikan barang yang
dibeli atau dipesannya sebagai persediaan (inventory), maka dimungkinkan bagi
bank untuk melakukan akad salam kepada pihak ketiga (pembeli kedua), seperti
BULOG, pedagang pasar induk atau rekanan. Mekanisme ini disebut paralel salam.
3.
Jual Beli Istishna’
A. Pengertian
Istishna’
Transaksi bai’
al-istisna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang.
Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang
lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut
spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua
belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran: apakah pembayaran
dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada
masa yang akan datang.
Menurut jumhur
fuqaha, bai’ al-istishna’ merupakan suatu jenis khusus dari bai’ as-salam.
Biasanya, jenis ini dipergunakan dalam bidang manufaktur. Dengan demikian,
ketentuan bai’ al-istishna’ mengikuti ketentuan dan aturan akad bai’ as-salam.
B. Syarat
dan Rukun Istishna’
Syarat ishtishna’ menurut pasal
104-108 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah adalah sebagai berikut:
a. Bai’
istishna’ mengikat setelah masing-masing pihak sepakat atas barang yang dipesan
b. Bai’
istishna’ dapat dilakukan pada barang yang bisa dipesan
c. Dalam
bai’ istishna’, identifikasi dan deskripsi barang yang dijual harus sesuai
permintaan pemesanan
d. Pembayaran
dalam bai’ istishna’ dilakukan pada waktu dan tempat yang disepakati
e. Setelah
akad jual beli pesanan mengikat, tidak satupun boleh tawar-menawar kembali
terhadap isi akad yang sudah disepakati
f. Jika
objek dari pesanan tidak sesuai dengan spesifikasi, maka pemesanan dapat
menggunakan hak pilihan (khiyar) untuk melanjutkan atau membatalkan pemesanan.
Adapun
rukun istishna’ sebagai berikut:
a. Al-‘Aqidain
(dua pihak yang melakukan transaksi) harus memunyai hak membelanjakan harta
b. Shighat,
yaitu segala sesuatu yang menunjukkan aspek suka sama suka dari kedua belah
pihak, yaitu penjual dan pembeli
c. Objek
yang ditransaksikan, yaitu barang produksi.
C. Dasar
Hukum Istishna’
Ulama yang
membolehkan transaksi ishtishna’ berpendapat, bahwa istishna’ disyariatkan
berdasarkan sunnah Nabi Muhammad saw. bahwa beliau pernah minta dibuatkan
cincin sebagaimana yang diriwayatkan Imam Bukhari sebagai berikut: “Dari Ibnu
Umar r.a. bahwa Rasulullah saw. minta dibuatkan cincin dari emas. Beliau memakainya
dan meletakkan batu cincin di bagian dalam telapak tangan. Orang-orang pun
membuat cincin. Kemudian beliau duduk di atas mimbar, melepas cincinnya, dan
bersabda, “Sesungguhnya aku tadinya memakai cincin ini dan aku letakkan batu
mata cincin ini di bagian dalam telapak tangan.” Kemudian beliau membuang
cincinnya dan bersabda, “Demi Allah, aku tidak akan memakainya selamanya.”
Kemudian orang-orang membuang cincin mereka.” (HR Bukhari)
Ibnu al-Atsir
menyatakan bahwa maksudnya beliau meminta dibuatkan cincin untuknya. Al-Kaisani
dalam kitab Bada’iu ash-shana’i menyatakan bahwa istishna’ telah menjadi ijma’
sejak zaman Rasulullah saw. tanpa ada yang menyangkal. Kaum muslimin telah
mempraktikkan transaksi seperti ini, karena memang ia sangat dibutuhkan.
Sebagian fuqaha
kontemporer berpendapat bahwa bai’ al-ishtishna’ adalah sah atas dasar qiyas
dan aturan umum syariah karena itu memang jual beli biasa dan si penjual akan
mampu mengadakan barang tersebut pada saat penyerahan. Demikian juga terjadi
perselisihan atas jenis dan kualitas barang dapat diminimalkan dengan
pencantuman spesifikasi dan ukuran-ukuran serta bahan material pembuatan barang
tersebut.
D. Istishna’
Paralel
Dalam sebuah
kontrak bai’ al-istishna’, bisa saja pembeli mengizinkan pembuat menggunakan subkontraktor
untuk melaksanakan kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat dapat membuat
kontrak istishna’ kedua untuk memenuhi kewajibannya pada kontrak pertama.
Kontrak baru ini dikenal sebagai istishna’ paralel.
Ada beberapa
konsekuensi saat bank islam menggunakan kontrak istishna’ paralel. Diantaranya
sebagai berikut:
a. Bank
islam sebagai pembuat pada kontrak pertama tetap merupakan satu-satunya pihak
yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kewajibannya. Istishna’ paralel
atau subkontrak untuk sementara harus dianggap tidak ada. Dengan demikian
sebagai shani’ pada kontrak pertama, bank tetap bertanggung jawab atas setiap
kesalahan, kelalaian, atau pelanggaran kontrak yang berasal dari kontrak
paralel.
b. Penerima
subkontrak pembuatan pada istishna’ paralel bertanggung jawab terhadap bank
islam sebagai pemesan. Dia tidak mempunyai hubungan hukum secara langsung
dengan nasabah dengan kontrak pertama akad. Bai’ al-istishna’ kedua merupakan
kontrak paralel, tetapi bukan merupakan bagian atau syarat untuk kontrak
pertama. Dengan demikian, kedua kontrak tersebut tidak mempunyai kaitan hukum
sama sekali.
c. Bank
sebagai shani’ atau pihak yang siap untuk membuat atau mengadakan barang,
bertanggung jawab kepada nasabah atas kesalahan pelaksanaan subkontraktor dan
jaminan yang timbul darinya. Kewajiban inilah yang membenarkan keabsahan
istishna; paralel, juga menjadi dasar bahwa bank boleh memungut keuntungan
kalau ada.
E. Istishna’
dalam Lembaga Keuangan Syariah
Produk istishna’
menyerupai produk salam, tetapi dalam istishna’ pembayarannya dapat dilakukan
oleh bank dalam beberapa kali pembayaran. Skim istishna’ dalam bank syariah
umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi.
Bila nasabah membutuhkan pembiayaan untuk
produksi sampai menghasilkan barang jadi, bank dapat memberikan fasilitas bai’
al-istishna’. Melalui fasilitas ini, bank melakukan pemesanan barang dengan
harga yang disepakati kedua belah pihak (biasanya sebesar biaya produksi
ditambah keuntungan bagi produsen, tetapi lebih rendah dari harga jual) dan
dengan pembayaran di muka secara bertahap, sesuai dengan tahap-tahap proses
produksi.
Setiap selesai
satu tahap, bank meneliti spesifikasi dan kualitas work in process tersebut,
kemudian melakukan pembayaran untuk proses berikutnya, sampai tahap akhir dari
proses produksi tersebut hingga berupa bahan jadi. Dengan demikian, kewajiban
dan tanggung jawab pengusaha adalah keberhasilan proses produksi tersebut
sampai menghasilkan barang jadi sesai dengan kuantitas dan kualitas yang telah
diperjanjikan. Bila produksi gagal, pengusaha berkewajiban menggantinya, apakah
dengan cara memproduksi lagi ataupun dengan cara membeli dari pihak lain.
Setelah barang
selesai, maka status dari barang tersebut adalah milik bank. Tentu saja bank
tidak bermaksud membeli barang itu untuk dimiliki, melainkan untuk segera
dijual kembali dengan mengambil keuntungan. Pada saat yang kurang lebih
bersamaan dengan proses pembelian fasilitas bai’ al-istishna’ tersebut, bank
juga telah mencari potential purchaser dari produk yang dipesan oleh bank
tersebut. Dalam praktikanya, potential buyer tersebut telah diperoleh nasabah.
Kombinasi pembelian dari nasabah produsen dan penjualan kepada pihak pembeli
itu menghasilkan skema pembiayaan berupa istishna’ paralel, dan apabila hasil
produksi tersebut disewakan skemanya menjadi istishna’ wal-ijarah. Bank
memperoleh keuntungan dari selisih harga beli (istishna’) dengan harga jual
(murabahah) atau dari hasil sewa (ijarah).
4.
Perbedaan Murabahah, Salam dan Istishna’
Murabahah,
salam, dan istishna’ merupakan jenis pembiayaan berdasarkan akad jual beli.
Inti dari pembiayaan berdasarkan pada akad jual beli adalah bahwa nasabah yang
membutuhkan suatu barang tertentu, maka padanya akan menerima barang dari pihak
bank dengan harga sebesar harga pokok ditambah besarnya keuntungan yang
dikehendaki oleh bank (profit margin) dan tentu saja harus ada kesepakatan
mengenai harga tersebut oleh kedua belah pihak. Murabahah merupakan jual beli,
dimana barangnya sudah ada, sedangkan dalam salam dan istishna’ adalah jual
beli dengan pemesanan terlebih dahulu.
2.2 Skema
Akad Istishna
Dalam pembiayaan
istishna, bnak bertindak sebagai penerima pesanan, juga sebagai pemesan barang
yang di inginkan oleh nasabah.
Berikut ini merupakan skema pembiayaan istishna :
Berikut ini merupakan skema pembiayaan istishna :
Keterangan:
1.
Nasabah memesan barang kepada bank
selaku penjual. Dalam pemesanan barang
telah di jelaskan spesifikasinya, sehingga bank akan menyediakan barang sesuai
dengan pesanan nasabah.
2.
Setelah menerima pesanan nasabah, maka
pihak bank akan segera memesan barang kepada pembuat / produsen. Produsen
akan membuat barang sesuai pesanan bank.
3.
Bank menjual barang kepada pembeli /
pemesan dengan harga sesuai dengan kesepakatan.
4.
Setelah barang selesai di buat, maka
akan di serahkan oleh produsen kepada nasabah atas perintah pihak bank.
Keterangan:
1.
Nasabah memesan barang kepada bank
selaku penjual atau bank mewakilkan nasabah untuk memesan kepada produsen.
2.
Bank menjual kepada pembeli/
nasabah.
3.
Bank syariah membeli dan memesan barang
sesuai dengan pesanan yang telah di perjanjikan antara pihak bank dan
pembeli atau nasabah.
2.3 Penjurnalan
pada Akad Istishna
Ilustrasi Jurnal
1. Penerimaan
uang muka pesanan dari nasabah:
Db. Kas/rekening...
Kr.Kewajibanlainnya–Uang
muka Istishna
2. Penerimaan
barang dari supplier:
a. Mekanisme
uang muka
1). Pemberian
uang muka
Db.Aset lainnya –Uang muka kepada supplier
Kr.Kas/rekening...
2). Penerimaan
sebagian barang pesanan dari supplier
Db.Aset Istishna Dalam Penyelesaian
Kr.Aset lainnya –Uang Muka kepada supplier.
b. Mekanisme
tagihan dari supplier
1). Menerima
tagihan dari supplier
Db.Aset Istishna Dalam Penyelesaian
Kr.Kewajibanlainnya –Utang Istishna.
2). Pembayaran
kepada supplier
Db. Kewajiban lainnya –Utang Istishna
Kr. Kas/rekening...
3. Penagihan
termin kepada nasabah:
Db. Piutang Istishna.
Kr. Marjin Istishna
ditangguhkan
Kr. Termin Istishna.
4. Pembayaran
oleh nasabah:
Db. Kas.
Kr.PiutangIstishna.
Db. Marjin Istishna ditangguhkan.
Kr. Pendapatan
Istishna.
5. Penyerahan
barangkepada nasabah:
Db. Termin Istishna.
Kr. Aset Istishna Dalam
Penyelesaian.
6. Pada
saat pengakuan pendapatan diakhir periode pelaporan (akru):
Db.Pendapatan marjin
Istishna yang akan diterima.
Kr.Pendapatan marjin
Istishna.
7. Pada
saat pembentukan Penyisihan Penghapusan Aset Produktifatas piutang Istishna:
Db. Beban kerugian
penghapusan asset produktif–piutang Istishna.
Kr.Penyisihan
Penghapusan Aset–piutang Istishna.
8. Pada
saat dilakukan koreksi Penyisihan Penghapusan Aset atas piutang Istishna:
Db. Penyisihan
Penghapusan Aset–piutang Istishna.
Kr.Beban kerugian penghapusan asset
produktif–piutang Istishna/KoreksiPenyisihan Penghapusan Aset Produktif–Piutang
Istishna.
BAB III
KESIMPULAN
Al- Istishna merupakan
akad kontrak jual beli barang antara dua belah pihak berdasarkan pesanan dari
pihak lain, dan barang pesanan akan sesuai dengan spesifikasim yang telah di
sepakati dan menjulanya dengan harga dan cara pembayaran yang telah di
sepakati terlebih dahulu.
Mekanisme
pembayaran istishna harus di sepakati dalam akad dan dapat di lakukaan dengan
tiga cara, yaitu :
1.
Pembayaran di muka, yaitu
pembayaran di lakukan secara keseluruhan pada saat akad sebelum aset
istishna diserahkan oleh bank syariah kepada pembeli akhir ( nasabah )
2.
Pembayaran di lakukan pada saat
penyerahan barang , yaitu pembayaran di lakukan pada saat barabg di
terima oleh pembeli akhir. Cara pembayaran ini di mungkunkan adanya pembayaran
termin sesuai dengan proses pembuatan aset istishna.
3.
Pembayaran di tangguhkan, yaitu
pembayaran dilakukan setelah aset istishna di serahkan oleh bank kepada pembeli
akhir.
Adapun dasar-dasar hukum dari istishna adalah :
Adapun dasar-dasar hukum dari istishna adalah :
·
Al-Qur’an
·
As-Sunnah
·
Al-Ijma’
·
Kaidah fiqiyah
·
Fatwa DSN MUI No.06/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Jual Beli Istishna
·
Logika
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Ismail, Perbankan syariah. Jakarta : Kencana, 2011.
Jaih Mubarok , Perkembangan Fatwa Ekonomi Syariah di Indonesia. Bandung
: Pustaka
Bani Quraisy, 2004.
Muhammad, Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Jakarta : Gema Insani, 2001.
OJK. Pedoman
Akuntansi Perbankan Syariah Indoesia. (hal 32-37).
Sherly Jihan. 2018. Penulisan Makalah.
tanggal 18 September
2019)
Suprihatin. 2013. Jual Beli Mudrabahah, Salam dan Istishna.
(http://suprihatin1508.blogspot.com/2013/11/jual-beli-murabahah-salam-dan-istishna_21.html
di akses pada tanggal 21 November 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar