Jumat, 24 Januari 2020

AKAD ISTISHNA


MAKALAH
AKUNTANSI KEUANGAN SYARIAH

AKAD ISTISHNA
Diajukan Sebagai
Tugas E-Learning Pertemuan 12





Dosen Pengampu :
Lucky Nugroho, SE, MM, M.Ak


Disusun oleh:
Sherly Jihan Adina                  (33217010001)



UNIVERSITAS MERCU BUANA
PROGRAM STUDI D3 AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
JAKARTA
KATA PENGANTAR

            Saya ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada semua yang telah mendukung untuk mempersiapkan makalah ini hingga selesai. Saya bersyukur atas rahmat dan ridho Allah SWT, makalah ini dapat tersusun dengan baik. Makalah ini ditujukan untuk penyelesaian tugas E-Learning Saya yang berjudul “Akad Ishtisna” dalam mata kuliah yang saya ambil yakni Akuntansi Keuangan Syariah yang di ajarkan oleh dosen pengampu Saya Lucky Nugroho, SE, MM, M.Ak
Dalam penyusunan ini Saya masih banyak kesalahan tulisan maupun tata bahasa, kesalahan dari makalah ini menjadi tanggung jawab Saya. Saya menerima kritik maupun saran pembaca.


           

Penulis


















DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................... 4
1.1  Latar Belakang........................................................................................................ 4
1.2  Rumusan Masalah................................................................................................... 4
1.3  Tujuan..................................................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................... 5
2.1  Perbedaan Salam, dan Istishna............................................................................... 5
2.2  Skema Akad Istishna.............................................................................................. 12
2.3  Jurnal Akad Istishna............................................................................................... 13
BAB III KESIMPULAN...................................................................................................... 15
BAB IV DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 16






















BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia sedang mengalami kemajuan yang pesat. Pernyataan ini ditandai dengan jumlah aset yang dimiliki sektor perbankan syariah. Seperti yang dilansir oleh sindonews pada hari selasa, 6 September 2016 bahwa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat per Juni 2016, sektor perbankan syariah memiliki total aset sebesar Rp 306,23 Triliun. Aset perbankan syariah tersebut tumbuh sebesar 11,97% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Hal ini tentu merupakan kebanggaan tersendiri bagi sektor perbankan syariah karena perbankan syariah masih terbilang baru di Indonesia akan tetapi mampu menyaingi perbankan konvensional, bahkan ketika terjadi krisis ekonomi tahun 1997 perbankan syariah mampu bertahan dengan tetap memberikan kinerja yang cukup baik sehingga pemerintah dan otoritas moneter berupaya membantu perkembangannya melalui peluncuran dual banking system dengan terbitnya UU No. 10 Tahun 1998. Kemudian dengan lahirnya UU No. 21 Tahun 2008 semakin memperjelas landasan operasi bagi bank syariah dan menjadi tonggak penting nasib perbankan syariah di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah :
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini yakni sebagai berikut:
1.      Apa Perbedaan Salam dan Istishna?
2.      Bagaimana Skema Akad Istishna?
3.      Bagaimana Penjurnalan Akad Istishna?

1.3 Tujuan :
Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini ialah sebagai berikut:
1.      Mengetahui Perbedaan Salam dan Istishna.
2.      Mengetahui Skema Akad Istishna.
3.      Mengetahui Bagaimana Penjurnalan pada Akad Istishna.




BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Perbedaan Akad Salam dan Istishna
1.      Jual Beli Salam
A.    Pengertian Jual Beli Salam
Secara terminologi, jual beli salam ialah menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu barang yang ciri-cirinya disebutkan dengan jelas dengan pembayaran modal terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan dikemudian hari.
 Jual beli salam ialah menjual sesuatu yang tidak dilihat zatnya, hanya ditentukan dengan sifat, barang itu ada di dalam tanggungan si penjual. Misalnya si penjual berkata, “ Saya jual kepadamu satu meja tulis dari jati, ukurannya 140x100 cm, tingginya 75 cm, sepuluh laci, dengan harga Rp. 100.000,- “. Pembeli pun berkata, “ Saya beli meja dengan sifat tersebut dengan harga Rp. 100.000,-”. Dia membayar uangnya sewaktu akad itu juga, tetapi mejanya belum ada. Jadi, salam  ini merupakan jual beli utang dari pihak penjual dan kontan dari pihak pembeli karena uangnya telah dibayarkan sewaktu akad.
B.     Rukun dan Syarat Salam
Sebagaimana jual beli, dalam akad salam harus terpenuhi rukun dan syaratny. Adapun rukun salam adalah sebagai berikut:
a.       Muslam atau pembeli
b.      Muslam ilaih atau penjual
c.       Modal atau uang
d.      Muslam fiihi atau barang
e.       Sighat atau ucapan
Syarat-syarat salam sebagai berikut:
a.       Uangnya dibayar di tempat akad, berarti pembayaran dilakukan terlebih dahulu
b.      Barangnya menjadi utang bagi penjual
c.       Barangnya dapat diberikan sesuai dengan waktu yang dijanjikan. Berarti pada waktu dijanjikan barang tersebut harus sudah ada. Oleh sebab itu, men-salam buah-buahan yang yang waktunya ditentukan bukan pada musimnya tidak sah
d.      Barang tersebut hendaklah jelas ukuranny, takarannya, ataupun bilangannya, menurut kebiasaan cara menjual barang itu
e.       Diketahui dan ditentukan sifat-sifat dan macam barangnya dengan jelas, agar tidak ada keraguan yang mengakibatkan perselisihan antara dua belah pihak. Dengan sifat itu, berarti harga dan kemauan orang pada barang tersebut dapat bebeda
f.       Disebutkan tempat menerimanya.
C.     Perbedaan antara Jual Beli Salam dengan Jual Beli Biasa
Semua syarat-syarat dasar suatu akad jual beli biasa masih tetap ada pada jual beli salam. Namun ada beberapa perbedaan antara keduanya. Misalnya :
a.       Dalam jual beli salam, perlu ditetapkan periode pengiriman barang, yang dalam jual beli biasa tidak perlu.
b.      Dalam jual beli salam, komoditas yang tidak dimiliki oleh penjual dapat dijual; yang dalam jual beli biasa tidak dapat dijual.
c.       Dalam jual beli salam, hanya komoditas yang secara tepat dapat ditentukan kualitas dan kuantitasnya dapat dijual, yang dalam jual beli biasa, segala komoditas yang dapat dimiliki bisa dijual, kecuali yang dilarang oleh Al Quran dan hadits.
d.      Dalam jual beli salam, pembayaran harus dilakukan ketika mebuat kontrak; yang dalam jual beli biasa, pembayaran dapat ditunda atau dapat dilakukan ketika pengiriman barang berlangsung.
Jadi, kita dapat menyimpulkan bahwa aturan asal pelarangan jual beli yaitu tidak adanya barang, telah dihapuskan dengan pertimbangan kebutuhan masyarakat terhadap kontrak salam.
D.    Dasar Hukum Jual beli Salam
Landasan syariah dari jual beli salam terdapat di dalam Al Qur’an dan hadits:
a.       Dalam surat Al-Baqarah ayat 282: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”
Dalam kaitan ayat tersebut, Ibnu Abbas menjelaskan keterkaitan ayat tersebut dengan transaksi bai’ as-salam. Hal ini tampak jelas dari ungkapan beliau, “Saya bersaksi bahwa salaf (salam) yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan oleh Allah pada kitab-Nya dan diizinkan-Nya.” Ia lalu membaya ayat tersebut.
b.      Al-Hadits
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. datang ke Madinah dimana penduduknya melakukan salaf (salam) dalm buah-buahan (untuk jangka waktu) satu, dua, dan tiga tahun. Beliau berkata: “Barang siapa melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui.”
Dari hadits lain: dari Shuhaib r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR Ibnu Majah)
E.     Salam Paralel
Salam paralel berarti melaksanakan dua transaksi bai’ as-salam antara bank dan nasabah, dan antara bank dan pemasok (suplier) atau pihak ketiga lainnya secara simultan. Dewan pengawas syariah Rajhi Banking dan Investment Corporation telah menetapkan fatwa yang membolehkan praktik salam paralel dengan syarat pelaksanaan transaksi salam kedua tidak bergantung pada pelaksanaan akad salam yang pertama. Beberapa ulama kontemporer memberikan catatan atas transaksi salam paralel, terutama jika perdagangan dan transaksi semacam itu dilakukan secara terus-menerus. Hal demikian diduga akan menjurus kepada riba.
F.      Pembiayaan Salam Pada Perbankan Syariah
Salam adalah transaksi jual beli dimana barang yang diperjualbelikan belum ada. Oleh karena itu, barang diserahkan secara tangguh sementara pembayaran dilakukan tunai. Bank bertindak sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Sekilas transaksi ini mirip jual beli ijon, namun dalam transaksi ini kualitas, kuantitas, harga dan waktu penyerahan barang harus ditentukan secara pasti.
Dalam praktik perbankan, ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka bank akan menjualnya kepada rekanan nasabah atau nasabah itu sendiri secara tunai atau secara cicilan. Harga jual yang ditetapkan oleh bank adalah harga beli bank dari nasabah ditambah keuntungan. Dalam hal bank menjualnya secara tunai biasanya disebut pembiayaan talangan (bridginng financing). Adapun dalam hal bank menjualnya secara cicilan, kedua pihak harus nmenyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran.
Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Umumnya transaksi ini diterapkan dalam pembiayaan barang yang belum ada seperti pembelian komoditas pertanian oleh bank untuk kemudian dijual kembali secara tunai atau secara cicilan.
Ketentuan umum pembiayaan salam dalah sebagai berikut :
a.       Pembelian hasil produksi harus diketahui spesifikasinya secara jelas seperti jenis, macam, ukuran, mutu, dan jumlahnya. Misalnya, jual beli 100 kg mangga harum manis kualitas A dengan harga Rp. 5000/kg, akan diserahkan pada panen dua bulan mendatang.
b.      Apabila hasil produksinyang diterima cacat atau tidak sesuai dengan akad, maka nasabah (produsen) harus bertanggung jawab denagn cara antara lain mengembalikan dana yang telah diterimanya atau mengganti barang yang sesuai pesanan.
c.        Mengingat bank tidak menjadikan barang yang dibeli atau dipesannya sebagai persediaan (inventory), maka dimungkinkan bagi bank untuk melakukan akad salam kepada pihak ketiga (pembeli kedua), seperti BULOG, pedagang pasar induk atau rekanan. Mekanisme ini disebut paralel salam.
2.      Jual Beli Istishna’
A.    Pengertian Istishna’
Transaksi bai’ al-istisna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran: apakah pembayaran dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.
Menurut jumhur fuqaha, bai’ al-istishna’ merupakan suatu jenis khusus dari bai’ as-salam. Biasanya, jenis ini dipergunakan dalam bidang manufaktur. Dengan demikian, ketentuan bai’ al-istishna’ mengikuti ketentuan dan aturan akad bai’ as-salam.
B.     Syarat dan Rukun Istishna’
Syarat ishtishna’ menurut pasal 104-108 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah adalah sebagai berikut:
a.       Bai’ istishna’ mengikat setelah masing-masing pihak sepakat atas barang yang dipesan
b.      Bai’ istishna’ dapat dilakukan pada barang yang bisa dipesan
c.       Dalam bai’ istishna’, identifikasi dan deskripsi barang yang dijual harus sesuai permintaan pemesanan
d.      Pembayaran dalam bai’ istishna’ dilakukan pada waktu dan tempat yang disepakati
e.       Setelah akad jual beli pesanan mengikat, tidak satupun boleh tawar-menawar kembali terhadap isi akad yang sudah disepakati
f.       Jika objek dari pesanan tidak sesuai dengan spesifikasi, maka pemesanan dapat menggunakan hak pilihan (khiyar) untuk melanjutkan atau membatalkan pemesanan.
Adapun rukun istishna’ sebagai berikut:
a.       Al-‘Aqidain (dua pihak yang melakukan transaksi) harus memunyai hak membelanjakan harta
b.      Shighat, yaitu segala sesuatu yang menunjukkan aspek suka sama suka dari kedua belah pihak, yaitu penjual dan pembeli
c.       Objek yang ditransaksikan, yaitu barang produksi.
C.     Dasar Hukum Istishna’
Ulama yang membolehkan transaksi ishtishna’ berpendapat, bahwa istishna’ disyariatkan berdasarkan sunnah Nabi Muhammad saw. bahwa beliau pernah minta dibuatkan cincin sebagaimana yang diriwayatkan Imam Bukhari sebagai berikut: “Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullah saw. minta dibuatkan cincin dari emas. Beliau memakainya dan meletakkan batu cincin di bagian dalam telapak tangan. Orang-orang pun membuat cincin. Kemudian beliau duduk di atas mimbar, melepas cincinnya, dan bersabda, “Sesungguhnya aku tadinya memakai cincin ini dan aku letakkan batu mata cincin ini di bagian dalam telapak tangan.” Kemudian beliau membuang cincinnya dan bersabda, “Demi Allah, aku tidak akan memakainya selamanya.” Kemudian orang-orang membuang cincin mereka.” (HR Bukhari)
Ibnu al-Atsir menyatakan bahwa maksudnya beliau meminta dibuatkan cincin untuknya. Al-Kaisani dalam kitab Bada’iu ash-shana’i menyatakan bahwa istishna’ telah menjadi ijma’ sejak zaman Rasulullah saw. tanpa ada yang menyangkal. Kaum muslimin telah mempraktikkan transaksi seperti ini, karena memang ia sangat dibutuhkan.
Sebagian fuqaha kontemporer berpendapat bahwa bai’ al-ishtishna’ adalah sah atas dasar qiyas dan aturan umum syariah karena itu memang jual beli biasa dan si penjual akan mampu mengadakan barang tersebut pada saat penyerahan. Demikian juga terjadi perselisihan atas jenis dan kualitas barang dapat diminimalkan dengan pencantuman spesifikasi dan ukuran-ukuran serta bahan material pembuatan barang tersebut.
D.    Istishna’ Paralel
Dalam sebuah kontrak bai’ al-istishna’, bisa saja pembeli mengizinkan pembuat menggunakan subkontraktor untuk melaksanakan kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat dapat membuat kontrak istishna’ kedua untuk memenuhi kewajibannya pada kontrak pertama. Kontrak baru ini dikenal sebagai istishna’ paralel.
Ada beberapa konsekuensi saat bank islam menggunakan kontrak istishna’ paralel. Diantaranya sebagai berikut:
a.       Bank islam sebagai pembuat pada kontrak pertama tetap merupakan satu-satunya pihak yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kewajibannya. Istishna’ paralel atau subkontrak untuk sementara harus dianggap tidak ada. Dengan demikian sebagai shani’ pada kontrak pertama, bank tetap bertanggung jawab atas setiap kesalahan, kelalaian, atau pelanggaran kontrak yang berasal dari kontrak paralel.
b.      Penerima subkontrak pembuatan pada istishna’ paralel bertanggung jawab terhadap bank islam sebagai pemesan. Dia tidak mempunyai hubungan hukum secara langsung dengan nasabah dengan kontrak pertama akad. Bai’ al-istishna’ kedua merupakan kontrak paralel, tetapi bukan merupakan bagian atau syarat untuk kontrak pertama. Dengan demikian, kedua kontrak tersebut tidak mempunyai kaitan hukum sama sekali.
c.       Bank sebagai shani’ atau pihak yang siap untuk membuat atau mengadakan barang, bertanggung jawab kepada nasabah atas kesalahan pelaksanaan subkontraktor dan jaminan yang timbul darinya. Kewajiban inilah yang membenarkan keabsahan istishna; paralel, juga menjadi dasar bahwa bank boleh memungut keuntungan kalau ada.
E.     Istishna’ dalam Lembaga Keuangan Syariah
Produk istishna’ menyerupai produk salam, tetapi dalam istishna’ pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali pembayaran. Skim istishna’ dalam bank syariah umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi.
 Bila nasabah membutuhkan pembiayaan untuk produksi sampai menghasilkan barang jadi, bank dapat memberikan fasilitas bai’ al-istishna’. Melalui fasilitas ini, bank melakukan pemesanan barang dengan harga yang disepakati kedua belah pihak (biasanya sebesar biaya produksi ditambah keuntungan bagi produsen, tetapi lebih rendah dari harga jual) dan dengan pembayaran di muka secara bertahap, sesuai dengan tahap-tahap proses produksi.
Setiap selesai satu tahap, bank meneliti spesifikasi dan kualitas work in process tersebut, kemudian melakukan pembayaran untuk proses berikutnya, sampai tahap akhir dari proses produksi tersebut hingga berupa bahan jadi. Dengan demikian, kewajiban dan tanggung jawab pengusaha adalah keberhasilan proses produksi tersebut sampai menghasilkan barang jadi sesai dengan kuantitas dan kualitas yang telah diperjanjikan. Bila produksi gagal, pengusaha berkewajiban menggantinya, apakah dengan cara memproduksi lagi ataupun dengan cara membeli dari pihak lain.
Setelah barang selesai, maka status dari barang tersebut adalah milik bank. Tentu saja bank tidak bermaksud membeli barang itu untuk dimiliki, melainkan untuk segera dijual kembali dengan mengambil keuntungan. Pada saat yang kurang lebih bersamaan dengan proses pembelian fasilitas bai’ al-istishna’ tersebut, bank juga telah mencari potential purchaser dari produk yang dipesan oleh bank tersebut. Dalam praktikanya, potential buyer tersebut telah diperoleh nasabah. Kombinasi pembelian dari nasabah produsen dan penjualan kepada pihak pembeli itu menghasilkan skema pembiayaan berupa istishna’ paralel, dan apabila hasil produksi tersebut disewakan skemanya menjadi istishna’ wal-ijarah. Bank memperoleh keuntungan dari selisih harga beli (istishna’) dengan harga jual (murabahah) atau dari hasil sewa (ijarah).
3.       Perbedaan Salam dan Istishna’
Salam, dan istishna’ merupakan jenis pembiayaan berdasarkan akad jual beli. Inti dari pembiayaan berdasarkan pada akad jual beli adalah bahwa nasabah yang membutuhkan suatu barang tertentu, maka padanya akan menerima barang dari pihak bank dengan harga sebesar harga pokok ditambah besarnya keuntungan yang dikehendaki oleh bank (profit margin) dan tentu saja harus ada kesepakatan mengenai harga tersebut oleh kedua belah pihak. Murabahah merupakan jual beli, dimana barangnya sudah ada, sedangkan dalam salam dan istishna’ adalah jual beli dengan pemesanan terlebih dahulu.

2.2  Skema Akad Istishna
Dalam pembiayaan istishna, bnak bertindak sebagai penerima pesanan, juga sebagai pemesan barang yang di inginkan oleh nasabah.
Berikut ini merupakan skema pembiayaan istishna :

Keterangan:
1.                            Nasabah memesan barang kepada bank selaku penjual. Dalam pemesanan  barang telah di jelaskan spesifikasinya, sehingga bank akan menyediakan barang sesuai dengan pesanan nasabah.
2.                            Setelah menerima pesanan nasabah, maka pihak bank akan segera memesan barang kepada pembuat / produsen. Produsen  akan membuat barang sesuai pesanan bank.
3.                            Bank menjual barang kepada pembeli / pemesan dengan harga sesuai dengan kesepakatan.
4.                            Setelah barang selesai di buat, maka akan di serahkan oleh produsen kepada nasabah atas perintah pihak bank.
Keterangan:
1.      Nasabah memesan barang kepada bank selaku penjual atau bank mewakilkan nasabah untuk memesan kepada produsen.
2.      Bank  menjual kepada pembeli/ nasabah.
3.      Bank syariah membeli dan memesan barang sesuai dengan pesanan yang telah di perjanjikan antara pihak bank dan pembeli  atau nasabah.


2.3  Penjurnalan pada Akad Istishna
Ilustrasi Jurnal
1.      Penerimaan uang muka pesanan dari nasabah:
Db. Kas/rekening...
Kr.Kewajibanlainnya–Uang muka Istishna
2.      Penerimaan barang dari supplier:
a.       Mekanisme uang muka
1).    Pemberian uang muka
Db.Aset lainnya –Uang muka kepada supplier
Kr.Kas/rekening...
2).    Penerimaan sebagian barang pesanan dari supplier
Db.Aset Istishna Dalam Penyelesaian
Kr.Aset lainnya –Uang Muka kepada supplier.
b.      Mekanisme tagihan dari supplier
1).    Menerima tagihan dari supplier
Db.Aset Istishna Dalam Penyelesaian
Kr.Kewajibanlainnya –Utang Istishna.
2).    Pembayaran kepada supplier
Db. Kewajiban lainnya –Utang Istishna
Kr. Kas/rekening...
3.      Penagihan termin kepada nasabah:
Db. Piutang Istishna.
Kr. Marjin Istishna ditangguhkan
Kr. Termin Istishna.
4.      Pembayaran angsuran oleh nasabah:
Db. Kas.
Kr.PiutangIstishna.
Db. Marjin Istishna ditangguhkan.
Kr. Pendapatan Istishna.
5.      Penyerahan barangkepada nasabah:
Db. Termin Istishna.
Kr. Aset Istishna Dalam Penyelesaian.
6.      Pada saat pengakuan pendapatan diakhir periode pelaporan (akrual):
Db.Pendapatan marjin Istishna yang akan diterima.
Kr.Pendapatan marjin Istishna.
7.      Pada saat pembentukan Penyisihan Penghapusan Aset Produktifatas piutang Istishna:
Db. Beban kerugian penghapusan asset produktif–piutang Istishna.
Kr.Penyisihan Penghapusan Aset–piutang Istishna.
8.      Pada saat dilakukan koreksi Penyisihan Penghapusan Aset atas piutang Istishna:
Db. Penyisihan Penghapusan Aset–piutang Istishna.
Kr.Beban kerugian penghapusan asset produktif–piutang Istishna/KoreksiPenyisihan Penghapusan Aset Produktif–Piutang Istishna.




BAB III
KESIMPULAN

Al- Istishna merupakan akad kontrak jual beli barang antara dua belah pihak berdasarkan pesanan dari pihak lain, dan barang pesanan akan sesuai dengan spesifikasim yang telah di sepakati  dan menjulanya dengan harga dan cara pembayaran yang telah di sepakati terlebih dahulu.
Mekanisme pembayaran  istishna harus di sepakati dalam akad dan dapat di lakukaan dengan tiga cara, yaitu  :
1.      Pembayaran di muka, yaitu pembayaran  di lakukan secara keseluruhan pada saat akad sebelum aset istishna diserahkan oleh bank syariah kepada pembeli akhir ( nasabah )
2.      Pembayaran di lakukan pada saat penyerahan barang , yaitu pembayaran di lakukan pada  saat barabg di terima oleh pembeli akhir. Cara pembayaran ini di mungkunkan adanya pembayaran termin sesuai dengan proses pembuatan aset istishna.
3.      Pembayaran di tangguhkan, yaitu pembayaran dilakukan setelah aset istishna di serahkan oleh bank kepada pembeli akhir.
Adapun dasar-dasar hukum dari istishna adalah :
·         Al-Qur’an
·         As-Sunnah
·         Al-Ijma’
·         Kaidah fiqiyah
·         Fatwa DSN MUI No.06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna
·         Logika









BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Ismail, Perbankan syariah. Jakarta : Kencana, 2011.
Jaih Mubarok , Perkembangan Fatwa Ekonomi Syariah di Indonesia.   Bandung : Pustaka
Bani Quraisy, 2004.
Muhammad, Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Jakarta : Gema Insani, 2001.
OJK. Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indoesia. (hal 32-37).
Sherly Jihan. 2018. Penulisan Makalah.
tanggal 18 September 2019)
Suprihatin. 2013. Jual Beli Mudrabahah, Salam dan Istishna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar