MAKALAH
AKUNTANSI
KEUANGAN SYARIAH
PERBEDAAN
SISTEM BAGI HASIL DENGAN BUNGA
Diajukan
Sebagai
Tugas
E-Learning Pertemuan 6
Dosen Pengampu :
Lucky Nugroho, SE,
MM, M.Ak
Disusun oleh:
Sherly Jihan Adina (33217010001)
UNIVERSITAS
MERCU BUANA
PROGRAM
STUDI D3 AKUNTANSI
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS
JAKARTA
KATA
PENGANTAR
Saya
ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada semua yang telah mendukung untuk
mempersiapkan makalah ini hingga selesai. Kami bersyukur atas rahmat dan ridho
Allah SWT, makalah ini dapat tersusun dengan baik. Makalah ini ditujukan untuk
penyelesaian tugas E-Learning saya yang berjudul “Perbedaan Sistem Bagi Hasil
Dengan Bunga” dalam mata kuliah yang saya ambil yakni Akuntansi Keuangan
Syariah yang di ajarkan oleh dosen pengampu saya Lucky Nugroho, SE,
MM, M.Ak.
Dalam penyusunan ini saya masih
banyak kesalahan tulisan maupun tata bahasa, kesalahan dari makalah ini menjadi
tanggung jawab saya. Saya menerima kritik maupun saran pembaca.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Pada umumnya
Perbankan Syariah dan Perbankan
Konvensional sama-sama bertugas sebagai penghimpun
dana masyarakat (nasabah). Berdasarkan Statistik
Perbankan Syariah (SPS) pada Januari 2018 lalu, tercatat
bahwa pertumbuhan nasabah Bank Syariah naik sebanyak 18,05% pertahun.
Disisi lain, Otoritas
Jasa Keuangan (OJK), menyatakan bahwa Bank Konvensional
menduduki posisi lebih rendah 4-5% dibawahnya. Pertumbuhan nasabah Bank
Konvensional hanya berkisar 14% per tahunnya. Namun, dalam pengelolaan
penghimpunan dana nasabahnya, kedua Sistem Perbankan ini memiliki perbedaan
yang dapat menjadi salah satu factor penarik nasabah dari masing-masing Sistem
Perbankan.
Perbedaan utama
terletak pada prinsip atau kegiatan dari masing-masing Sistem Perbankan.Sistem
Perbank Konvensional adalah bank
yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalulintas pembayaran secara umum berdasarkan prosedur
dan ketentuan yang telah ditetapkan.
Perbedaannya
dapat dilihat pula dari aspek akad dan aspek legalitas, struktur organisasi,
lembaga penyelesaian sengketa, usaha yang dibiayai, dan lingkungan kerja serta
corporate culture/budaya. Sistem Perbankan Syariah menerapkan prinsip-prinsip
syariah, yang artinya seluruh aturan dan kebijakan pada bank
tersebut diatur di bawah prinsip dan hukum Islami. Istilah Perbankan Syariah
cukup sering kiranya terlintas.
1.2 Rumusan Masalah :
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini yakni sebagai
berikut:
1.
Mengapa Bunga Dapat Merugikan
Nasabah?
2.
Apa Perbedaan System Bagi Hasil
Dengan Bunga?
3.
Apa Perbedaan Profit Sharing Dengan
Revenue Sharing?
4.
Mengapa Bank Syariah Dapat Lebih
Bertahan Dibandingkan Dengan Bank Konvensional Pada Saat Krisis Ekonomi?
1.3 Tujuan :
Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini ialah sebagai
berikut:
1.
Mengetahui
Bunga Dapat Merugikan Nasabah.
2.
Perbedaan
System Bagi Hasil Dengan Bunga.
3.
Perbedaan
Profit Sharing Dengan Revenue Sharing.
4.
Bank
Syariah Dapat Lebih Bertahan Dengan Dibandingkan Dengan Bank Konvensional Saat
Krisis Ekonomi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Bunga
Dapat Merugikan Nasabah
Di era modern
seperti saat ini, banyak sekali nasabah yang berpindah pilihan yang awal
mulanya menggunakan bank konvensional kini beralih memilih menggunakan bank
syariah. Mereka mulai sadar bahwa bank konvensional banyak mengandung
kemudharatan, yaitu banyak berbagai unsur yang dapat merugikan bagi
nasabah.
Selain itu, juga
didukung dengan banyaknya perbankan syariah yang mulai didirikan di Indonesia.
Hal ini sebagai bukti bahwa bank syariah (yang pada saat itu Bank Muamalat
Indonesia) bisa tetap maju dan jaya pada saat menghadapi krisis moneter yang
terjadi di Indonesia pada tahun 1997-1998. Banyak sekali bank konvensional yang
bangkrut pada kurun waktu itu, tetapi bank syariah tetap jaya. Hal ini bisa
terjadi karena adanya perbedaan sistem yang dianut antara bank konvensional
dengan bank syariah.
Banyak sekali
manfaat yang diperoleh dari penggunaan bank syariah. Salah satu diantaranya
adalah tidak adanya riba dan unsur riba lainnya. Lain halnya dengan bank
konvesional yang menggunakan sistem bunga. Sistem bunga sudah terbukti banayak
merugikan nasabah. Karena pangambilan suku bunga pada nasabah yang dilakukan
oleh bank konvensional tidak pandang bulu. Mereka tidak melihat terlebih dahulu
usaha apa yang akan didirikan oleh si nasabah. Yang menjadi prioritasnya
hanyalah keuntungan, keuntungan dan keuntungan. Sedangkan, bank syariah dalam mencari
keuntungan dilakukan dengan menerapkan sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil ini
sama-sama mendatangkan keuntungan bagi kedua belah pihak.
Besarnya bagi
hasil tergantung dari keuntungan si nasabah dalam menjalankan usahanya, jika
keuntungan yang diperoleh meningkat, maka keuntungan yang diperoleh bank
syariah juga banyak. Sebaliknya, jika keuntungan dari usaha si nasabah
mengalami kemunduran, maka keuntungan atau bagi hasil yang diperoleh bank akan
mengalami penurunan juga. Sedangkan dalam pelaksanaan sistem bunga pada bank
konvensional, mereka tidak memperhitungkan besar kecilnya keuntungan dari usaha
si nasabah. Mereka akan tetap menetapkan berapa besarnya tingkat suku bunga
dari jumlah pinjaman tersebut. Dan hal ini sangat merugikan bagi nasabah.
Dalam bank
syariah juga terdapat berbagai macam pembiayaan, seperti pembiayaan investasi,
pembiayaan pada modal kerja serta pembiayaan dalam hal konsumsi. Selain itu
juga terdapat pembiayaan dalam jangka panjang, jangka menengah serta jangka
panjang. Jika dilihat dari sektor usaha, bank syariah juga menyediakan tawaran
pembiayaan, seperti dalam sektor industri, perdagangan, perumahan dan jasa
serta dalam sektor pertanian, peternakan, perikanan dan perkebunan. Jadi,
pilihan pembiayaan dalam bank syariah itu sangat lengkap, banyak dan beragam.
Kita hanya perlu memilih pembiayaan yang sesuai dengan kebutuhan kita.
Sementara itu,
terdapat fakta paling mencengangkan dari perbedaan antara bank konvensional dan
bank syariah yaitu jika dalam bank konvensional eksistensi bunga masih sangat
diragukan oleh semua agama. Sedangkan dalam bank syariah, tidak ada satu pun
agama yang meragukan sistem bagi hasil.
2.2 Perbedaan
System Bagi Hasil Dengan Bunga
Bank memiliki
fungsi sebagai tempat penghimpun dan penyalur dana dari masyarakat dan untuk
masyarakat. Dalam dunia perbankan di Indonesia kita mengenal dua jenis bank
yaitu Bank Konvensional dan Bank Syariah. Bank selain memberikan keuntungan
bagi nasabah juga pastinya memiliki tujuan untuk memperoleh keuntungan untuk dirinya
sendiri. Inilah yang akhirnya memunculkan sistem bagi keuntungan antara bank
dan nasabah. Bank Konvensional dan Bank Syariah memiliki perbedaan dalam sistem
bagi keutungan dengan nasabahnya. Jika pada Bank Konvensional menerapkan sistem
bunga, pada Bank Syariah menerapkan sistem bagi hasil.
1.
Bunga
Bunga
adalah balas jasa yang diberikan oleh pihak bank (konvensional) untuk nasabah
yang memiliki simpanan dan harus dibayarkan nasabah yang memiliki pinjaman
kepada bank. Bunga sering dikaitkan dengan istilah riba. Riba sendiri adalah
pengambilan tambahan sebagai syarat yang harus dibayarkan oleh peminjam kepada
pemberi pinjaman diluar biaya pokok. Jika ditelaah, sistem bunga yang
ditawarkan oleh Bank Konvensional masuk dalam kategori riba.
Selain
bunga, suku bunga merupakan hal lain yang juga biasanya diberlakukan oleh Bank
Konvensional. Suku bunga adalah presentase besar uang yang dipinjam (pokok
utang) yang dibayarakan sebagai balas jasa. Besarnya bunga ini dipengaruhi oleh
antara lain persaingan, kebutuhan dana, kebijakan pemerintah, jangka waktu,
target laba yang diharapkan, kualitas agunan, reputasi perusahaan, jenis produk
serta hubungan baik bank dengan nasabah.
Beberapa
istilah bunga yang biasa diterapkan antara lain:
1). Bunga
flat yaitu bunga yang sistem pembayaran utang pokok dan bunga kredit jumlahnya
akan sama setiap bulannya. Perhitungan ini berdasarkan presentase bunga
dikalikan pokok pinjaman awal. Bungan flat biasanya digunakan untuk pinjaman
jangka pendek dan kredit kendaraan.
2). Bunga
efektif adalah besar bunga dihitung berdasarkan nilai pokok yang belum dibayar
dan dilakukan setiap akhir periode angsuran. Nilai bunga yang dibayar akan
semakin mengecil sehingga angsuran perbulan juga semakin menurun. Namun tidak
berarti bunga efektif akan lebih rendah dari bunga flat Bunga efektif biasanya
diberlakukan untuk kredit jangka panjang sehingga jumlahnya biasanya lebih
besar dari bunga flat.
3). Bunga
anuitas. Pada bunga ini porsi bunga dan pokok utang akan berubah setiap
periodenya, namun angsurannya tetap sama. Pada awal perhitungan porsi bunga
akan lebih besar sedangkan pokoknya kecil dan di akhir pembayaran bunga
mengecil namun pokoknya besar.
4). Bunga
mengambang yaitu sistem yang dimana besar bunga mengikuti suku bunga pasar.
Jika suku bunga pasar naik, bunga juga ikut naik, begitu pula sebaliknya.
2.
Bagi Hasil
Kemudian
apa perbedaan bunga dengan sistem bagi hasil? Bagi hasil adalah alternatif
pembagian keuntungan yang sistemnya berdasarkan dari penetapan akad di awal
yang telah disepakati sebelumnya dan akan meningkat seiring dengan keuntungan
yang diperoleh perusahaan. Skema dari bagi hasil ini antara lain :
1). Profit
sharing yaitu pembagian keuntungan berdasarkan keuntungan yang didapat dari
suatu usaha. Keuntungan ini didapat dari laba bersih yang merupakan selisih
antara pendapatan usaha yang dikurangi dengan biaya lain-lain.
2). Gross
profit sharing adalah sistem yang dilakukan dengan membagikan laba kotor hasil
dari pendapatan usaha dikurangi biaya produksi.
3). Revenue
sharing yaitu dimana dalam dasar perhitungannya hanya menggunakan pendapatan
usaha saja.
3.
Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil
1). Penentuan
Besaran
Perbedaan sistem
pembagian keuntungan secara bunga dan bagi hasil yang paling mencolok terlihat
pada penentuan besaran. Bunga, seperti pengertiannya ditentukan menggunakan
bentuk presentase besaran kredit utang. Sedangkan bagi hasil dintentukan
menggunakan rasio atau perbadingan terhadap keuntungan usaha yang dibiayai dari
kredit tersebut.
2). Acuan
Pembagian
Acuan yang
dijadikan dasar penghitungan bunga dan bagi hasil juga berbeda. Acuan besarnya
bunga dipengaruhi oleh seberapa besar pokok hutang atau kredit yang
dikeluarkan. Sedangkan acuan bagi hasil yaitu menggunakan rasio seberapa besar
keuntungan yang dibiayai oleh kredit tersebut.
3). Besarnya
pendapatan dan jumlah pembayaran
Pada sistem
bunga, pendapatan yang diperoleh bersifat statis yang dimana walaupun
perusahaan merugi, utang tetap memiliki bunga yang tetap serta jumlah
pembayarannya setiap periodenya juga tetap. Sedangkan dalam bagi hasil
pendapatan yang diperoleh akan bersifat dinamis menyesuaikan dengan keadaan
usaha. Jika usaha yang dilakukan mendapat keutungan besar maka bagi hasil
pendapatnnya juga besar, begitu pula sebaliknya. Oleh karenannya bank dengan
sistem bagi hasil cenderung hanya akan membiayai usaha dengan keuntungan yang
diprediksi besar.
4). Eksistensi
Dalam hal ini
biasanya perbedaan muncul penilaian didasari oleh suatu dasar. Penerapan bagi
keuntungan dengan sistem menggunakan bunga sangat diragukan bahkan dikecam
beberapa kalangan karena dirasa mengaplikasikan sistem riba. Sedangan untuk
sistem bagi hasil tidak ada yang meragukan keabsahannya.
Kedua sistem
bagi keuntungan ini memiliki dampak positif dan negatifnya masing-masing. Jika
ditanya mana yang lebih baik, tentu jawabannya sudah muncul berdasarkan ulasan
diatas. Namun pilihan sistem bagi keuntungan mana yang lebih baik tetap ada
ditangan calon pengaju kredit didasari oleh jenis usaha yang akan dilakukan.
2.3 Perbedaan
Profit Sharing Dengan Revenue Sharing
1.
Pengertian Profit Sharing
Profit
sharing menurut etimologi Indonesia adalah bagi keuntungan. Dalam kamus ekonomi
diartikan pembagian laba. Profit secara istilah adalah perbedaan yang timbul
ketika total pendapatan (total revenue) suatu perusahaan lebih besar dari biaya
total (total cost).
Di
dalam istilah lain profit sharing adalah perhitungan bagi hasil didasarkan
kepada hasil bersih dari total pendapatan setelah dikurangi dengan biaya-biaya
yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut. Pada perbankan syariah
istilah yang sering dipakai adalah profit and loss sharing, di mana hal ini
dapat diartikan sebagai pembagian antara untung dan rugi dari pendapatan yang
diterima atas hasil usaha yang telah dilakukan.
Sistem
profit and loss sharing dalam pelaksanaannya merupakan bentuk dari
perjanjian kerjasama antara pemodal (Investor) dan pengelola modal
(enterpreneur) dalam menjalankan kegiatan usaha ekonomi, dimana di antara
keduanya akan terikat kontrak bahwa di dalam usaha tersebut jika mendapat
keuntungan akan dibagi kedua pihak sesuai nisbah kesepakatan di awal
perjanjian, dan begitu pula bila usaha mengalami kerugian akan ditanggung
bersama sesuai porsi masing-masing.
Kerugian
bagi pemodal tidak mendapatkan kembali modal investasinya secara utuh ataupun
keseluruhan, dan bagi pengelola modal tidak mendapatkan upah/hasil dari jerih
payahnya atas kerja yang telah dilakukannya.
Keuntungan
yang didapat dari hasil usaha tersebut akan dilakukan pembagian setelah
dilakukan perhitungan terlebih dahulu atas biaya-biaya yang telah dikeluarkan
selama proses usaha. Keuntungan usaha dalam dunia bisnis bisa negatif, artinya
usaha merugi, positif berarti ada angka lebih sisa dari pendapatan dikurangi
biaya-biaya, dan nol artinya antara pendapatan dan biaya menjadi balance.
Keuntungan yang dibagikan adalah keuntungan bersih (net profit) yang merupakan
lebihan dari selisih atas pengurangan total cost terhadap total revenue.
2.
Pengertian Revenue Sharing
Revenue
Sharing berasal dari bahasa Inggris yang terdiri dari dua kata yaitu, revenue
yang berarti; hasil, penghasilan, pendapatan. Sharing adalah bentuk kata kerja
dari share yang berarti bagi atau bagian. Revenue sharing berarti pembagian
hasil, penghasilan atau pendapatan.
Revenue
(pendapatan) dalam kamus ekonomi adalah hasil uang yang diterima oleh suatu
perusahaan dari penjualan barang-barang (goods) dan jasa-jasa (services) yang
dihasilkannya dari pendapatan penjualan (sales revenue).
Dalam
arti lain revenue merupakan besaran yang mengacu pada perkalian antara jumlah
out put yang dihasilkan dari kagiatan produksi dikalikan dengan harga barang
atau jasa dari suatu produksi tersebut.
Di
dalam revenue terdapat unsur-unsur yang terdiri dari total biaya (total cost)
dan laba (profit). Laba bersih (net profit) merupakan laba kotor (gross profit)
dikurangi biaya distribusi penjualan, administrasi dan keuangan.
Berdasarkan
devinisi di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa arti revenue pada prinsip
ekonomi dapat diartikan sebagai total penerimaan dari hasil usaha dalam
kegiatan produksi, yang merupakan jumlah dari total pengeluaran atas barang
ataupun jasa dikalikan dengan harga barang tersebut. Unsur yang terdapat di
dalam revenue meliputi total harga pokok penjualan ditambah dengan total
selisih dari hasil pendapatan penjualan tersebut. Tentunya di dalamnya meliputi
modal (capital) ditambah dengan keuntungannya (profit).Berbeda dengan revenue
di dalam arti perbankan. Yang dimaksud dengan revenue bagi bank adalah jumlah
dari penghasilan bunga bank yang diterima dari penyaluran dananya atau jasa
atas pinjaman maupun titipan yang diberikan oleh bank.
Revenue
pada perbankan Syari’ah adalah hasil yang diterima oleh bank dari penyaluran
dana (investasi) ke dalam bentuk aktiva produktif, yaitu penempatan dana bank
pada pihak lain. Hal ini merupakan selisih atau angka lebih dari aktiva
produktif dengan hasil penerimaan bank.
Perbankan
Syari’ah memperkenalkan sistem pada masyarakat dengan istilah Revenue Sharing,
yaitu sistem bagi hasil yang dihitung dari total pendapatan pengelolaan dana
tanpa dikurangi dengan biaya pengelolaan dana.
Lebih
jelasnya Revenue sharing dalam arti perbankan adalah perhitungan bagi hasil
didasarkan kepada total seluruh pendapatan yang diterima sebelum dikurangi
dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut.
Sistem revenue sharing berlaku pada pendapatan bank yang akan dibagikan
dihitung berdasarkan pendapatan kotor (gross sales), yang digunakan dalam
menghitung bagi hasil untuk produk pendanaan bank.
3.
Unsur-unsur yang Dibagikan
Konsep
bagi hasil dan bagi rugi yang ditawarkan Islam adalah sistem mudaharabah atau
disebut dengan konsep profit and loss sharing. dimana untung dan rugi dari
sebuah kerjasama ditanggung oleh semua pihak yang bekerja sama. Ketentuan
diatas merupakan konsekwensi logis dari karakteristik akad mudharabah yang
tergolong dalam kontrak investasi dalam dunia modern. Dalam kontrak ini, return
akan tergantung kepada kinerja sektor riilnya. Jika laba bisnis yang diusahakan
besar, maka kedua belah pihak akan mendapat bagian yang besar pula. Bila laba
bisnisnya kecil, maka mereka mendapat bagian yang kecil pula. Filosofi ini
hanya dapat berjalan jika nisbah keuntungan ditentukan dalam bentuk prosentase,
bukan dalam bentuk nominal uang tertentu. Namun demikian, jika usaha itu
mengalami kebangkrutan maka pembagian kerugian bukan didasarkan atas nisbah,
tetap berdasarkan porsi modal masing-masing pihak. Maka dari itu kontrak ini
menggunakan istilah nisbah keuntungan atau laba, bukan nisbah saja, yaitu
prosentase hanya digunakan ketika bisnis mendapat laba. Apabila bisnis itu
rugi, maka kerugiannya dibagi berdasarkan porsi modal masing-masing. Hal itu
dilakukan karena adanya perbedaan kemampuan untuk menanggung kerugian diantara
kedua belah pihak. Kemampuan shahibul maal untuk menanggung kerugian finansial
tidak sama dengan kemampuan mudharib. Dengan demikian karena kerugian dibagi
berdasarkan proporsi modal dan karena proporsi modal shahibul maal dalam hal
ini adalah 100%, maka kerugian finansial ditanggung 100% oleh shahibul maal. Di
sisi lain, karena proporsi modal mudharib dalam kontrak ini adalah 0% maka
apabila terjadi kerugian, maka mudharib akan menanggung kerugian finansial 0%
pula.
Pada
dasarnya kedua pihak sama-sama menanggung kerugian, namun bentuk kerugian yang
ditanggung oleh keduanya berbeda, sesuai dengan obyek mudharabah yang
dikontribusikannya. Bila yang dikontribusikannya adalah uang, maka resikonya
adalah hilangnya uang tersebut. Sedangkan bila yang dikontribusikannya adalah
kerja, maka resikonya adalah hilangnya kerja, usaha dan waktu dengan tidak
mendapat hasil apapun atas jerih payahnya selama berusaha.
Inilah
yang dikenal dengan dua jenis kerugian dalam mudharabah. Sehingga jika mudharib
diharuskan juga memikul kerugian finansial maka artinya ia memikul dua jenis
kerugian oleh satu pihak yaitu mudharib saja dan ini tidak adil dan dilarang
dalam Islam.
Namun
perlu diingat bahwa jika kebangkrutan usaha itu atas kesalahan mudharib maka
dia yang menanggung semua kerugian usaha yang terjadi. Jika mudharib melakukan
keteledoran, kelalaian, kecerobohan dalam mengolah dana yaitu melakukan
pelanggaran, kesalahan dalam prilakunya yang tidak termasuk dalam mudharabah
yang disepakati atau keluar dari ketentuan kerjasama, maka mudharib harus
menanggung kerugian bisnis sesuai dengan kelalaiannya sebagai sanksi dan
tanggungjawabnya. Hal ini berdasarkan hadits nabi yang berbunyi:
“Diriwayatkan
oleh ibnu Abbas, ia mengatakan, adalah Abbas ibnu Abdul Mutholib jika
menyerahkan hartanya untuk mudharabah menetapkan syarat terhadap orang yang
diberi modal untuk tidak menggunakan jalan laut dan tidak bermalam di lembah
serta tidak membeli hewan yang jika dibeli maka ia menanggung kerugiannya. Maka
telah sampai kepada Rasulullah syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Abbas
dan Rasulullah membolehkannya.”(HR. Tabrani dari ibnu Abbas)
Selanjutnya,
untuk menyelesaikan kerugian yang terjadi maka cara yang bisa ditempuh adalah
diambil dari pokok modal usahanya, bukan dibebankan kepada mudharib. Dari
ketentuan-ketentuan diatas nampak bahwa kedua pihak yang bekerja sama tidak
akan merasa dirugikan dengan pihak yang lain, baik ketika usaha itu laba maupun
rugi.
Konsep
profit and loss sharing ini jauh lebih bersifat kemanusiaan dibanding dengan
konsep bagi hasil yang lain, seperti revenue sharing yang diterapkan oleh dunia
konvensional. Konsep revenue sharing adalah besaran yang diacu jasa dari suatu
produksi. Hal itu berarti bahwa pembagian hasil usaha itu dilakukan ketika pada
perkalian antara jumlah output yang dihasilkan dari kegiatan produksi dikalikan
dengan harga barang atau mendapat laba kotor dari usaha. Jadi biaya operasonal
usaha seperti zakat, pajak, cicilan hutang serta service charge dibebankan
kepada mudharib atau pengelola. Hal itu tentunya sangat merugikan bagi
mudharib, karena dia harus menanggung biaya operasional yang seharusnya
ditanggung oleh shahibul maal. Jika kejadiaanya demikian maka hal itu
mendhalimi pihak lain. Hal itulah yang ingin dihapuskan oleh Islam. Bentuk
pembagian hasil usaha yang lain adalah profit sharing, yaitu selisih antara
revenue dan biaya operasional untuk suatu produksi. Baik konsep revenue sharing
maupun profit sharing, semua kerugian yang terjadi pada bisnis yang disepakati
ditanggungkan kepada mudharib. Hal itu tentu tidak ada keadilan sama sekali.
Di
sinilah Islam menawarkan alternatif yang sangat adil demi kemaslahatan bersama,
bukan untuk keuntungan satu pihak saja. Prinsip syariah yang berdasarkan
bagi-hasil adalah mudharabah, yaitu suatu perjanjian atau akad kerjasama
usaha/bisnis antara pemilik modal atau yang disebut sebagai Rabb al-Mal dengan
pengelolanya yaitu yang disebut sebagai mudharib. Pada perjanjian Mudharabah
ini, rabb al-mal menyetorkan modal usaha yang akan di kelola oleh mudharib dan
hasil keuntungannya dibagi sesuai dengan kesepakan bersama kedua belah pihak
dalam persentase: 50%:50%, 60%:40%, 70%:30%, 80%:20%, dari laba yang akan diperoleh.
Pada
prinsip bagi-hasil ini, 100% modal berasal dari rabb al-mal dan 100%
pengelolaan bisnisnya dilakukan oleh mudharib. Kalau nantinya dari usaha
tersebut menghasilkan keuntungan, maka untung nya dibagi antara rabb al-mal
dengan mudharib, kalau hasil usaha nya merugi, maka kerugian sepenuh nya
ditanggung oleh rabb al- mal, sementara mudharib akan mengalami rugi waktu dan
tenaga, tetapi apabila kerugian tersebut di sebabkan oleh kelalaian dari
mudharib maka sudah sepatut nya mudharib bertanggung jawab juga atas terjadi
nya kerugian pada usaha tersebut.
2.4 Bank
Syariah Lebih Bertahan Dibanding Konvensional Disaaat Krisis Ekonomi
Dalam dunia perbankan Indonesia,
dikenal dua jenis bank yaitu Bank Syariah dan Bank Konvensional. Masyarakat
Indonesia masih awam dengan keberadaan dua bank tersebut, tanpa disadari bahwa
keduanya memiliki perbedaan. Perbedaan keduanya beragam. Misalnya, dalam hal
suku bunga bank.
Di samping itu, pelayanan kedua bank tersebut juga berbeda. Agar membuka pemahaman serta wawasan Anda mengenai fungsi dan keberadaan Bank Syariah maupun Bank Konvensional, AturDuit akan menjelaskan perbedaannya.
Di samping itu, pelayanan kedua bank tersebut juga berbeda. Agar membuka pemahaman serta wawasan Anda mengenai fungsi dan keberadaan Bank Syariah maupun Bank Konvensional, AturDuit akan menjelaskan perbedaannya.
1. Keuntungan
Bank Syariah vs Konvensional
Kedua
bank sama-sama memberikan keuntungan bagi nasabahnya. Hanya saja pemberian
keuntungan kedua Bank ini berbeda bentuk. Menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun
1998 Bank Konvensional merupakan bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan memberi keuntungan berupa suku bunga kepada nasabahnya.
Sementara itu, dalam Bank Syariah, pemberian suku bunga sama sekali
dihindarkan.
Bank Syariah :
Keuntungan berasal dari pendekatan bagi hasil (al-mudharabah).
Bank Konvensional :
Keuntungan berasal dari suku bunga dengan jumlah nominal tertentu. Selain itu,
nasabah memperoleh keuntungan bunga simpanan yang tinggi, sedang kepentingan
pemegang saham di antaranya adalah memperoleh spread yang optimal antara suku
bunga simpanan dan suku
bunga pinjaman (mengoptimalkan interest difference).
2.
Pengelolaan Dana
Perbedaan
kedua bank ini juga terjadi dalam hal pengelolaan dana. Bank memiliki caranya
masing-masing untuk mengelola dana nasabah agar terus berputar. Bahkan
pemutaran keuangan dapat melalui produk apa saja. Bisa dari tabungan,
deposito hingga giro. Akan tetapi, pada bank syariah, pegelolaan keuangan ini
tak bisa sembarangan.
Bank
Syariah : Pengelolaan keuangan dalam bentuk titipan maupun investasi. Segala
pengelolaan yang berasal dan diinvestasikan pada kegiatan bisnis yang melanggar
hukum Islam, seperti perdagangan barang-barang haram, perjudian (maisir), dan
manipulatif (ghahar) sangat diharamkan.
Bank
Konvensional : Pengelolaan keuangan bisa berasal dari sumber manapun tanpa
harus mengetahui dari mana atau kemana uang tersebut disalurkan, selama debitur
bisa membayar cicilan dengan rutin.
3.
Proses Transaksi Perbankan
Proses
transaksi serta perjanjian yang terjadi di kedua bank menujukkan perbedaan.
Dalam Bank Syariah, transkasi dilakukan sesuai prinsip Syariah Islam. Sementara
pada Bank Konvensional semua transaksi dan perjanjian berdasarkan hukum yang
berlaku di Indonesia.
Bank
Syariah : Transaksi berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist dan telah difatwakan oleh
Majelis Ulama Indonesia (MUI). Jenis transaksinya antara lain akad
al-mudharabah (bagi hasil), al-musyarakah (perkongsian), al-musaqat (kerja sama
tani), al-ba’i (bagi hasil), al-ijarah (sewa-menyewa), dan al-wakalah
(keagenan).
Bank
Konvensional : Transaksi berdasarkan pada hukum yang berlaku di negara
Indonesia.
4.
Promosi dan Cicilan
Dua hal tersebut merupakan daya tarik bank dalam
menjaring nasabah. Dan keduanya memiliki taktik masing-masing dalam memberian
promosi dan juga cicilan. Apabila Bank Konvensional gemar menebar promosi dan
cicilan yang menggiurkan misalnya cicilan 0% diberikan bagi nasabah yang
memiliki tabungan di bank tertentu atau suku bunga tetap saat ingin membeli
rumah. Nah, Bank Syariah juga memiliki caranya sendiri dalam memberikan promosi
dan cicilan.
Bank
Syariah : Program cicilan diterapkan dengan jumlah tetap berdasarkan keuntungan
yang sudah disetujui antara pihak bank dan nasabah saat akad kredit. Sementara
untuk pemberian promosi harus tersampaikan dengan jelas, tidak ambigu, dan
transparan.
Bank
Konvensional : Hampir setiap bulan memberikan promosi yang berbeda-beda dan
bertujuan menarik nasabah untuk menggelontorkan uangnya di bank tersebut.
Promosinya sangat beragam seperti pemberian suku bunga tetap atau fixed rate
selama periode tertentu, sebelum akhirnya memberikan suku bunga berfluktuasi
atau floating rate kepada nasabah.
5.
Sistem Bunga
Terdapat
perbedaan dalam hal pemberian sistem bunga. Tentu seperti dijelaksan di poin
sebelumnya bahwa Bank Syariah sangat mengesampingkan pemberian bunga karena tak
sesuai dengan hukum Islam.
Bank
Syariah : Eksistensi bunga diragukan kehalalannya oleh semua agama termasuk
agama Islam. Maka itu, Bank Syariah tidak menganut sistem ini.
Bank
Konvensional : Penentuan suku bunga dilakukan pada waktu akad dengan pedoman
harus selalu menguntungkan pihak bank. Besarnya persentase didasarkan pada
jumlah uang (modal) yang dipinjamkan. Jumlah pembayaran bunga tidak mengikat
meskipun jumlah keuntungan berlipat ganda saat keadaan ekonomi sedang baik.
BAB III
KESIMPULAN
1.1 Kesimpulan
Dalam studi ekonomi makro disebutkan antara lain faktor suku
bunga dapat menurunkan investasi. Jika investasi menurun maka otomatis akan
menurunkan produksi dan akibat berikutnya suku bunga berpotensi menciptakan
pengangguran dan kemiskinan. Atau dengan kata lain, suku bunga bisa berdampak
bangkrutnya sektor produktif, dan menciptakan pengangguran bagi kehidupan
masyarakat.
Terkait dengan kenaikan suku bunga acuan BI Rate yang dalam
dua bulan berturut-turut naik 0,25 (Juni) dan 0,5 (Juli) menjadi 6,5% dari
semula 5,75%, mengindikasikan terjadi perlambatan dalam perekonomian nasional.
Jelas ini akan menghambat pertumbuhan pada tahun ini. Karena dunia usaha
dipastikan mengalami kesulitan akibat tingginya suku bunga kredit perbankan
sejalan dengan kenaikan suku bunga acuan tersebut.
Kebijakan Bank Indonesia (BI) yang bertujuan untuk meredam
inflasi itu juga berimplikasi pada sektor riil lainnya. Dengan kondisi suku
bunga BI Rate 6,5% akan membuat sulit bagi bangsa indonesia untuk menghasilkan
perusahaan dan pengembangan sektor riil dalam sekala besar. Ini sesuai pendapat
pakar ekonomi Lord Keyness, yang mengakui dan menyimpulkan bahwa suku bunga
yang tinggi menyebabkan macetnya pasar atau terhentinya kegiatan industri, yang
kemudian secara negatif mempengaruhi penerimaan masyarakat.
Di sisi lain, tingginya suku bunga simpanan (deposito) di
bank akan membuat nasabah terus menerus mengendapkan dana di bank hingga tak
terbatas waktunya. Logika sederhananya, jika seseorang mempunyai dana yang
besar didalam bank, misalnya Rp 1 miliar, dengan bunga deposito 9% per tahun
maka, tanpa bekerjapun orang tersebut akan menghasilkan uang sebanyak Rp 90
juta per tahunnya.
Namun di lain pihak, betapa banyaknya orang-orang atau para
buruh yang sangat kecil gajinya, jika dalam kondisi sekarang dengan bekerja
keraspun belum bisa menyaingi orang yang hanya menginvestasikan uangnya di bank
tersebut, sementara pemilik dana tidak mempunyai risiko dalam menanamkan
modalnya.
Jadi, dalam sistem bunga tinggi ini terjadi ketidakadilan
perpindahan aset dari pemodal dan peminjam (debitur). Pemilik deposito menerima
keuntungan hasil bunga yang pasti tanpa menanggung risiko seperti yang dihadapi
debitur yang terimbas beban suku bunga tinggi. Inilah yang menciptakan
ketimpangan dalam menggerakkan sektor riil dan bisnis di negeri ini di masa
depan.
Fenomena suku bunga kredit tinggi di Indonesia sebenarnya
sudah ada sejak beberapa tahun yang lalu. Bahkan bunga pinjaman di Indonesia
yang termahal di kawasan ASEAN. Sehingga tak mengherankan banyak bankir asing
mengincar bisnis bank di negeri ini tergiur oleh tingginya suku bunga
belakangan ini.
Herannya, BI sendiri mengakui kondisi ini tidak sekadar
membebani nasabah, juga merugikan bank. Tinggi rendahnya suku bunga menjadi
tolok ukur daya saing perbankan. Semakin tinggi bunga, semakin sulit bersaing.
Celakanya, pada tahun 2015, ketika Masyarakat Ekonomi ASEAN berjalan, perbankan
kita harus bersaing dengan bank dari negara kawasan yang terbiasa menerapkan
bunga rendah.
Coba bayangkan jarak (spread) antara BI Rate dengan bunga
kredit saat ini tinggi sekali. Idealnya hanya selisih 3% atau seharusnya bunga
kredit maksimal 9,5%. Namun kalangan perbankan biasanya menambahkan faktor
inflasi (7%), sehingga tingkat bunga kredit di pasar minimal 16,5% per tahun.
Bandingkan dengan Malaysia dan Singapura yang saat ini cuma sebesar 5%-6% per
tahun.
Jadi, langkah BI menaikkan suku bunga acuan tersebut
terlihat kepentingan untuk menahan laju inflasi dan mengurangi defisit perdagangan,
namun di sisi lain mengorbankan pertumbuhan ekonomi dan kegiatan sektor riil.
Bagaimanapun kebijakan moneter bukan satu-satunya faktor penentu makroekonomi
sebuah negara, melainkan perlu ada kebijakan makro lainnya yang saling
mendukung untuk mempertahankan stabilitas ekonomi di Indonesia.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Firdaus
Baderi. 2013. Bahaya Suku Bunga Tinggi
(http://www.neraca.co.id/article/30678/bahaya-suku-bunga-tinggi di akses pada tanggal 18 Oktober
2019)
Imoney.
2017. Perbandigan Antara Bank Syariah Dan
Bank Konvensional
(https://www.aturduit.com/articles/perbandingan-bank-syariah-dan-bank-konvensional/ di akses pada tanggal 18 Oktober
2019)
Kumparan.
2017. Perbedaan System Bunga Dan System
Bagi Hasil
akses pada tanggal 18 Oktober 2019)
Putri,
Dahlianti. 2016. Bank Kekinian Perbankan
Syariah
(https://www.kompasiana.com/iisdahliantiputri/571c416f64afbd0705cd865c/bank-kekinian-perbankan-syariah di akses pada tanggal 18 Oktober
2019)
Sherly Jihan. 2018. Penulisan Makalah
tanggal 18 September
2019)
Tribun.
2019. Perbedaan system bunga dengan
system bagi hasil pada bank syariah dan
Konvensional (https://www.tribunnews.com/tribunners/2019/06/26/perbedaan-sistem-bunga-dan-sistem-bagi-hasil-dari-perbankan-konvensional-dan-perbankan-syariah di akses pada tanggal 18 Oktober
2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar