Minggu, 20 Oktober 2019

PERBEDAAN SISTEM BAGI HASIL DENGAN BUNGA


MAKALAH
AKUNTANSI KEUANGAN SYARIAH

PERBEDAAN SISTEM BAGI HASIL DENGAN BUNGA
Diajukan Sebagai
Tugas E-Learning Pertemuan 6





Dosen Pengampu :
Lucky Nugroho, SE, MM, M.Ak


Disusun oleh:
Sherly Jihan Adina      (33217010001)



UNIVERSITAS MERCU BUANA
PROGRAM STUDI D3 AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
JAKARTA
KATA PENGANTAR

            Saya ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada semua yang telah mendukung untuk mempersiapkan makalah ini hingga selesai. Kami bersyukur atas rahmat dan ridho Allah SWT, makalah ini dapat tersusun dengan baik. Makalah ini ditujukan untuk penyelesaian tugas E-Learning saya yang berjudul “Perbedaan Sistem Bagi Hasil Dengan Bunga” dalam mata kuliah yang saya ambil yakni Akuntansi Keuangan Syariah yang di ajarkan oleh dosen pengampu saya Lucky Nugroho, SE, MM, M.Ak.
Dalam penyusunan ini saya masih banyak kesalahan tulisan maupun tata bahasa, kesalahan dari makalah ini menjadi tanggung jawab saya. Saya menerima kritik maupun saran pembaca.


           

Penulis


















BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Pada umumnya Perbankan Syariah dan Perbankan Konvensional sama-sama bertugas sebagai penghimpun dana masyarakat (nasabah). Berdasarkan Statistik Perbankan Syariah (SPS) pada Januari 2018 lalu, tercatat bahwa pertumbuhan nasabah Bank Syariah naik sebanyak 18,05% pertahun.
Disisi lain, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), menyatakan bahwa Bank Konvensional menduduki posisi lebih rendah 4-5% dibawahnya. Pertumbuhan nasabah Bank Konvensional hanya berkisar 14% per tahunnya. Namun, dalam pengelolaan penghimpunan dana nasabahnya, kedua Sistem Perbankan ini memiliki perbedaan yang dapat menjadi salah satu factor penarik nasabah dari masing-masing Sistem Perbankan.
Perbedaan utama terletak pada prinsip atau kegiatan dari masing-masing Sistem Perbankan.Sistem Perbank Konvensional adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalulintas pembayaran secara umum berdasarkan prosedur dan ketentuan yang telah ditetapkan.
Perbedaannya dapat dilihat pula dari aspek akad dan aspek legalitas, struktur organisasi, lembaga penyelesaian sengketa, usaha yang dibiayai, dan lingkungan kerja serta corporate culture/budaya. Sistem Perbankan Syariah menerapkan prinsip-prinsip syariah, yang artinya seluruh aturan dan kebijakan pada bank tersebut diatur di bawah prinsip dan hukum Islami. Istilah Perbankan Syariah cukup sering kiranya terlintas.

1.2 Rumusan Masalah :
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini yakni sebagai berikut:
1.      Mengapa Bunga Dapat Merugikan Nasabah?
2.      Apa Perbedaan System Bagi Hasil Dengan Bunga?
3.      Apa Perbedaan Profit Sharing Dengan Revenue Sharing?
4.      Mengapa Bank Syariah Dapat Lebih Bertahan Dibandingkan Dengan Bank Konvensional Pada Saat Krisis Ekonomi?




1.3 Tujuan :
Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini ialah sebagai berikut:
1.      Mengetahui Bunga Dapat Merugikan Nasabah.
2.      Perbedaan System Bagi Hasil Dengan Bunga.
3.      Perbedaan Profit Sharing Dengan Revenue Sharing.
4.      Bank Syariah Dapat Lebih Bertahan Dengan Dibandingkan Dengan Bank Konvensional Saat Krisis Ekonomi.



























BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Bunga Dapat Merugikan Nasabah
Di era modern seperti saat ini, banyak sekali nasabah yang berpindah pilihan yang awal mulanya menggunakan bank konvensional kini beralih memilih menggunakan bank syariah. Mereka mulai sadar bahwa bank konvensional banyak mengandung kemudharatan, yaitu banyak berbagai unsur yang dapat merugikan bagi nasabah. 
Selain itu, juga didukung dengan banyaknya perbankan syariah yang mulai didirikan di Indonesia. Hal ini sebagai bukti bahwa bank syariah (yang pada saat itu Bank Muamalat Indonesia) bisa tetap maju dan jaya pada saat menghadapi krisis moneter yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997-1998. Banyak sekali bank konvensional yang bangkrut pada kurun waktu itu, tetapi bank syariah tetap jaya. Hal ini bisa terjadi karena adanya perbedaan sistem yang dianut antara bank konvensional dengan bank syariah.
Banyak sekali manfaat yang diperoleh dari penggunaan bank syariah. Salah satu diantaranya adalah tidak adanya riba dan unsur riba lainnya. Lain halnya dengan bank konvesional yang menggunakan sistem bunga. Sistem bunga sudah terbukti banayak merugikan nasabah. Karena pangambilan suku bunga pada nasabah yang dilakukan oleh bank konvensional tidak pandang bulu. Mereka tidak melihat terlebih dahulu usaha apa yang akan didirikan oleh si nasabah. Yang menjadi prioritasnya hanyalah keuntungan, keuntungan dan keuntungan. Sedangkan, bank syariah dalam mencari keuntungan dilakukan dengan menerapkan sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil ini sama-sama mendatangkan keuntungan bagi kedua belah pihak.
Besarnya bagi hasil tergantung dari keuntungan si nasabah dalam menjalankan usahanya, jika keuntungan yang diperoleh meningkat, maka keuntungan yang diperoleh bank syariah juga banyak. Sebaliknya, jika keuntungan dari usaha si nasabah mengalami kemunduran, maka keuntungan atau bagi hasil yang diperoleh bank akan mengalami penurunan juga. Sedangkan dalam pelaksanaan sistem bunga pada bank konvensional, mereka tidak memperhitungkan besar kecilnya keuntungan dari usaha si nasabah. Mereka akan tetap menetapkan berapa besarnya tingkat suku bunga dari jumlah pinjaman tersebut. Dan hal ini sangat merugikan bagi nasabah.
Dalam bank syariah juga terdapat berbagai macam pembiayaan, seperti pembiayaan investasi, pembiayaan pada modal kerja serta pembiayaan dalam hal konsumsi. Selain itu juga terdapat pembiayaan dalam jangka panjang, jangka menengah serta jangka panjang. Jika dilihat dari sektor usaha, bank syariah juga menyediakan tawaran pembiayaan, seperti dalam sektor industri, perdagangan, perumahan dan jasa serta dalam sektor pertanian, peternakan, perikanan dan perkebunan. Jadi, pilihan pembiayaan dalam bank syariah itu sangat lengkap, banyak dan beragam. Kita hanya perlu memilih pembiayaan yang sesuai dengan kebutuhan kita.
Sementara itu, terdapat fakta paling mencengangkan dari perbedaan antara bank konvensional dan bank syariah yaitu jika dalam bank konvensional eksistensi bunga masih sangat diragukan oleh semua agama. Sedangkan dalam bank syariah, tidak ada satu pun agama yang meragukan sistem bagi hasil.

2.2  Perbedaan System Bagi Hasil Dengan Bunga
Bank memiliki fungsi sebagai tempat penghimpun dan penyalur dana dari masyarakat dan untuk masyarakat. Dalam dunia perbankan di Indonesia kita mengenal dua jenis bank yaitu Bank Konvensional dan Bank Syariah. Bank selain memberikan keuntungan bagi nasabah juga pastinya memiliki tujuan untuk memperoleh keuntungan untuk dirinya sendiri. Inilah yang akhirnya memunculkan sistem bagi keuntungan antara bank dan nasabah. Bank Konvensional dan Bank Syariah memiliki perbedaan dalam sistem bagi keutungan dengan nasabahnya. Jika pada Bank Konvensional menerapkan sistem bunga, pada Bank Syariah menerapkan sistem bagi hasil.
1.      Bunga
Bunga adalah balas jasa yang diberikan oleh pihak bank (konvensional) untuk nasabah yang memiliki simpanan dan harus dibayarkan nasabah yang memiliki pinjaman kepada bank. Bunga sering dikaitkan dengan istilah riba. Riba sendiri adalah pengambilan tambahan sebagai syarat yang harus dibayarkan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman diluar biaya pokok. Jika ditelaah, sistem bunga yang ditawarkan oleh Bank Konvensional masuk dalam kategori riba.
Selain bunga, suku bunga merupakan hal lain yang juga biasanya diberlakukan oleh Bank Konvensional. Suku bunga adalah presentase besar uang yang dipinjam (pokok utang) yang dibayarakan sebagai balas jasa. Besarnya bunga ini dipengaruhi oleh antara lain persaingan, kebutuhan dana, kebijakan pemerintah, jangka waktu, target laba yang diharapkan, kualitas agunan, reputasi perusahaan, jenis produk serta hubungan baik bank dengan nasabah.


Beberapa istilah bunga yang biasa diterapkan antara lain:
1).    Bunga flat yaitu bunga yang sistem pembayaran utang pokok dan bunga kredit jumlahnya akan sama setiap bulannya. Perhitungan ini berdasarkan presentase bunga dikalikan pokok pinjaman awal. Bungan flat biasanya digunakan untuk pinjaman jangka pendek dan kredit kendaraan.
2).    Bunga efektif adalah besar bunga dihitung berdasarkan nilai pokok yang belum dibayar dan dilakukan setiap akhir periode angsuran. Nilai bunga yang dibayar akan semakin mengecil sehingga angsuran perbulan juga semakin menurun. Namun tidak berarti bunga efektif akan lebih rendah dari bunga flat Bunga efektif biasanya diberlakukan untuk kredit jangka panjang sehingga jumlahnya biasanya lebih besar dari bunga flat.
3).    Bunga anuitas. Pada bunga ini porsi bunga dan pokok utang akan berubah setiap periodenya, namun angsurannya tetap sama. Pada awal perhitungan porsi bunga akan lebih besar sedangkan pokoknya kecil dan di akhir pembayaran bunga mengecil namun pokoknya besar.
4).    Bunga mengambang yaitu sistem yang dimana besar bunga mengikuti suku bunga pasar. Jika suku bunga pasar naik, bunga juga ikut naik, begitu pula sebaliknya.
2.      Bagi Hasil
Kemudian apa perbedaan bunga dengan sistem bagi hasil? Bagi hasil adalah alternatif pembagian keuntungan yang sistemnya berdasarkan dari penetapan akad di awal yang telah disepakati sebelumnya dan akan meningkat seiring dengan keuntungan yang diperoleh perusahaan. Skema dari bagi hasil ini antara lain :
1).    Profit sharing yaitu pembagian keuntungan berdasarkan keuntungan yang didapat dari suatu usaha. Keuntungan ini didapat dari laba bersih yang merupakan selisih antara pendapatan usaha yang dikurangi dengan biaya lain-lain.
2).    Gross profit sharing adalah sistem yang dilakukan dengan membagikan laba kotor hasil dari pendapatan usaha dikurangi biaya produksi.
3).    Revenue sharing yaitu dimana dalam dasar perhitungannya hanya menggunakan pendapatan usaha saja.




3.      Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil
1).    Penentuan Besaran
Perbedaan sistem pembagian keuntungan secara bunga dan bagi hasil yang paling mencolok terlihat pada penentuan besaran. Bunga, seperti pengertiannya ditentukan menggunakan bentuk presentase besaran kredit utang. Sedangkan bagi hasil dintentukan menggunakan rasio atau perbadingan terhadap keuntungan usaha yang dibiayai dari kredit tersebut.
2).    Acuan Pembagian
Acuan yang dijadikan dasar penghitungan bunga dan bagi hasil juga berbeda. Acuan besarnya bunga dipengaruhi oleh seberapa besar pokok hutang atau kredit yang dikeluarkan. Sedangkan acuan bagi hasil yaitu menggunakan rasio seberapa besar keuntungan yang dibiayai oleh kredit tersebut.
3).    Besarnya pendapatan dan jumlah pembayaran
Pada sistem bunga, pendapatan yang diperoleh bersifat statis yang dimana walaupun perusahaan merugi, utang tetap memiliki bunga yang tetap serta jumlah pembayarannya setiap periodenya juga tetap. Sedangkan dalam bagi hasil pendapatan yang diperoleh akan bersifat dinamis menyesuaikan dengan keadaan usaha. Jika usaha yang dilakukan mendapat keutungan besar maka bagi hasil pendapatnnya juga besar, begitu pula sebaliknya. Oleh karenannya bank dengan sistem bagi hasil cenderung hanya akan membiayai usaha dengan keuntungan yang diprediksi besar.
4).    Eksistensi
Dalam hal ini biasanya perbedaan muncul penilaian didasari oleh suatu dasar. Penerapan bagi keuntungan dengan sistem menggunakan bunga sangat diragukan bahkan dikecam beberapa kalangan karena dirasa mengaplikasikan sistem riba. Sedangan untuk sistem bagi hasil tidak ada yang meragukan keabsahannya.
Kedua sistem bagi keuntungan ini memiliki dampak positif dan negatifnya masing-masing. Jika ditanya mana yang lebih baik, tentu jawabannya sudah muncul berdasarkan ulasan diatas. Namun pilihan sistem bagi keuntungan mana yang lebih baik tetap ada ditangan calon pengaju kredit didasari oleh jenis usaha yang akan dilakukan.



2.3  Perbedaan Profit Sharing Dengan Revenue Sharing
1.      Pengertian Profit Sharing
Profit sharing menurut etimologi Indonesia adalah bagi keuntungan. Dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Profit secara istilah adalah perbedaan yang timbul ketika total pendapatan (total revenue) suatu perusahaan lebih besar dari biaya total (total cost).
Di dalam istilah lain profit sharing adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada hasil bersih dari total pendapatan setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut. Pada perbankan syariah istilah yang sering dipakai adalah profit and loss sharing, di mana hal ini dapat diartikan sebagai pembagian antara untung dan rugi dari pendapatan yang diterima atas hasil usaha yang telah dilakukan.
Sistem profit and loss sharing  dalam pelaksanaannya merupakan bentuk dari perjanjian kerjasama antara pemodal (Investor) dan pengelola modal (enterpreneur) dalam menjalankan kegiatan usaha ekonomi, dimana di antara keduanya akan terikat kontrak bahwa di dalam usaha tersebut jika mendapat keuntungan akan dibagi kedua pihak sesuai nisbah kesepakatan di awal perjanjian, dan begitu pula bila usaha mengalami kerugian akan ditanggung bersama sesuai porsi masing-masing.
Kerugian bagi pemodal tidak mendapatkan kembali modal investasinya secara utuh ataupun keseluruhan, dan bagi pengelola modal tidak mendapatkan upah/hasil dari jerih payahnya atas kerja yang telah dilakukannya.
Keuntungan yang didapat dari hasil usaha tersebut akan dilakukan pembagian setelah dilakukan perhitungan terlebih dahulu atas biaya-biaya yang telah dikeluarkan selama proses usaha. Keuntungan usaha dalam dunia bisnis bisa negatif, artinya usaha merugi, positif berarti ada angka lebih sisa dari pendapatan dikurangi biaya-biaya, dan nol artinya antara pendapatan dan biaya menjadi balance. Keuntungan yang dibagikan adalah keuntungan bersih (net profit) yang merupakan lebihan dari selisih atas pengurangan total cost terhadap total revenue.    
2.       Pengertian Revenue Sharing
Revenue Sharing berasal dari bahasa Inggris yang terdiri dari dua kata yaitu, revenue yang berarti; hasil, penghasilan, pendapatan. Sharing adalah bentuk kata kerja dari share yang berarti bagi atau bagian. Revenue sharing berarti pembagian hasil, penghasilan atau pendapatan.
Revenue (pendapatan) dalam kamus ekonomi adalah hasil uang yang diterima oleh suatu perusahaan dari penjualan barang-barang (goods) dan jasa-jasa (services) yang dihasilkannya dari pendapatan penjualan (sales revenue).
Dalam arti lain revenue merupakan besaran yang mengacu pada perkalian antara jumlah out put yang dihasilkan dari kagiatan produksi dikalikan dengan harga barang atau jasa dari suatu produksi tersebut.
Di dalam revenue terdapat unsur-unsur yang terdiri dari total biaya (total cost) dan laba (profit). Laba bersih (net profit) merupakan laba kotor (gross profit) dikurangi biaya distribusi penjualan, administrasi dan keuangan.
Berdasarkan devinisi di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa arti revenue pada prinsip ekonomi dapat diartikan sebagai total penerimaan dari hasil usaha dalam kegiatan produksi, yang merupakan jumlah dari total pengeluaran atas barang ataupun jasa dikalikan dengan harga barang tersebut. Unsur yang terdapat di dalam revenue meliputi total harga pokok penjualan ditambah dengan total selisih dari hasil pendapatan penjualan tersebut. Tentunya di dalamnya meliputi modal (capital) ditambah dengan keuntungannya (profit).Berbeda dengan revenue di dalam arti perbankan. Yang dimaksud dengan revenue bagi bank adalah jumlah dari penghasilan bunga bank yang diterima dari penyaluran dananya atau jasa atas pinjaman maupun titipan yang diberikan oleh bank.
Revenue pada perbankan Syari’ah adalah hasil yang diterima oleh bank dari penyaluran dana (investasi) ke dalam bentuk aktiva produktif, yaitu penempatan dana bank pada pihak lain. Hal ini merupakan selisih atau angka lebih dari aktiva produktif dengan hasil penerimaan bank.
Perbankan Syari’ah memperkenalkan sistem pada masyarakat dengan istilah Revenue Sharing, yaitu sistem bagi hasil yang dihitung dari total pendapatan pengelolaan dana tanpa dikurangi dengan biaya pengelolaan dana.
Lebih jelasnya Revenue sharing dalam arti perbankan adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada total seluruh pendapatan yang diterima sebelum dikurangi dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut. Sistem revenue sharing berlaku pada pendapatan bank yang akan dibagikan dihitung berdasarkan pendapatan kotor (gross sales), yang digunakan dalam menghitung bagi hasil untuk produk pendanaan bank.


3.      Unsur-unsur yang Dibagikan
Konsep bagi hasil dan bagi rugi yang ditawarkan Islam adalah sistem mudaharabah atau disebut dengan konsep profit and loss sharing. dimana untung dan rugi dari sebuah kerjasama ditanggung oleh semua pihak yang bekerja sama. Ketentuan diatas merupakan konsekwensi logis dari karakteristik akad mudharabah yang tergolong dalam kontrak investasi dalam dunia modern. Dalam kontrak ini, return akan tergantung kepada kinerja sektor riilnya. Jika laba bisnis yang diusahakan besar, maka kedua belah pihak akan mendapat bagian yang besar pula. Bila laba bisnisnya kecil, maka mereka mendapat bagian yang kecil pula. Filosofi ini hanya dapat berjalan jika nisbah keuntungan ditentukan dalam bentuk prosentase, bukan dalam bentuk nominal uang tertentu. Namun demikian, jika usaha itu mengalami kebangkrutan maka pembagian kerugian bukan didasarkan atas nisbah, tetap berdasarkan porsi modal masing-masing pihak. Maka dari itu kontrak ini menggunakan istilah nisbah keuntungan atau laba, bukan nisbah saja, yaitu prosentase hanya digunakan ketika bisnis mendapat laba. Apabila bisnis itu rugi, maka kerugiannya dibagi berdasarkan porsi modal masing-masing. Hal itu dilakukan karena adanya perbedaan kemampuan untuk menanggung kerugian diantara kedua belah pihak. Kemampuan shahibul maal untuk menanggung kerugian finansial tidak sama dengan kemampuan mudharib. Dengan demikian karena kerugian dibagi berdasarkan proporsi modal dan karena proporsi modal shahibul maal dalam hal ini adalah 100%, maka kerugian finansial ditanggung 100% oleh shahibul maal. Di sisi lain, karena proporsi modal mudharib dalam kontrak ini adalah 0% maka apabila terjadi kerugian, maka mudharib akan menanggung kerugian finansial 0% pula.
Pada dasarnya kedua pihak sama-sama menanggung kerugian, namun bentuk kerugian yang ditanggung oleh keduanya berbeda, sesuai dengan obyek mudharabah yang dikontribusikannya. Bila yang dikontribusikannya adalah uang, maka resikonya adalah hilangnya uang tersebut. Sedangkan bila yang dikontribusikannya adalah kerja, maka resikonya adalah hilangnya kerja, usaha dan waktu dengan tidak mendapat hasil apapun atas jerih payahnya selama berusaha.
Inilah yang dikenal dengan dua jenis kerugian dalam mudharabah. Sehingga jika mudharib diharuskan juga memikul kerugian finansial maka artinya ia memikul dua jenis kerugian oleh satu pihak yaitu mudharib saja dan ini tidak adil dan dilarang dalam Islam.
Namun perlu diingat bahwa jika kebangkrutan usaha itu atas kesalahan mudharib maka dia yang menanggung semua kerugian usaha yang terjadi. Jika mudharib melakukan keteledoran, kelalaian, kecerobohan dalam mengolah dana yaitu melakukan pelanggaran, kesalahan dalam prilakunya yang tidak termasuk dalam mudharabah yang disepakati atau keluar dari ketentuan kerjasama, maka mudharib harus menanggung kerugian bisnis sesuai dengan kelalaiannya sebagai sanksi dan tanggungjawabnya. Hal ini berdasarkan hadits nabi yang berbunyi:
“Diriwayatkan oleh ibnu Abbas, ia mengatakan, adalah Abbas ibnu Abdul Mutholib jika menyerahkan hartanya untuk mudharabah menetapkan syarat terhadap orang yang diberi modal untuk tidak menggunakan jalan laut dan tidak bermalam di lembah serta tidak membeli hewan yang jika dibeli maka ia menanggung kerugiannya. Maka telah sampai kepada Rasulullah syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Abbas dan Rasulullah membolehkannya.”(HR. Tabrani dari ibnu Abbas)
Selanjutnya, untuk menyelesaikan kerugian yang terjadi maka cara yang bisa ditempuh adalah diambil dari pokok modal usahanya, bukan dibebankan kepada mudharib. Dari ketentuan-ketentuan diatas nampak bahwa kedua pihak yang bekerja sama tidak akan merasa dirugikan dengan pihak yang lain, baik ketika usaha itu laba maupun rugi.
Konsep profit and loss sharing ini jauh lebih bersifat kemanusiaan dibanding dengan konsep bagi hasil yang lain, seperti revenue sharing yang diterapkan oleh dunia konvensional. Konsep revenue sharing adalah besaran yang diacu jasa dari suatu produksi. Hal itu berarti bahwa pembagian hasil usaha itu dilakukan ketika pada perkalian antara jumlah output yang dihasilkan dari kegiatan produksi dikalikan dengan harga barang atau mendapat laba kotor dari usaha. Jadi biaya operasonal usaha seperti zakat, pajak, cicilan hutang serta service charge dibebankan kepada mudharib atau pengelola. Hal itu tentunya sangat merugikan bagi mudharib, karena dia harus menanggung biaya operasional yang seharusnya ditanggung oleh shahibul maal. Jika kejadiaanya demikian maka hal itu mendhalimi pihak lain. Hal itulah yang ingin dihapuskan oleh Islam. Bentuk pembagian hasil usaha yang lain adalah profit sharing, yaitu selisih antara revenue dan biaya operasional untuk suatu produksi. Baik konsep revenue sharing maupun profit sharing, semua kerugian yang terjadi pada bisnis yang disepakati ditanggungkan kepada mudharib. Hal itu tentu tidak ada keadilan sama sekali.
Di sinilah Islam menawarkan alternatif yang sangat adil demi kemaslahatan bersama, bukan untuk keuntungan satu pihak saja. Prinsip syariah yang berdasarkan bagi-hasil adalah mudharabah, yaitu suatu perjanjian atau akad kerjasama usaha/bisnis antara pemilik modal atau yang disebut sebagai Rabb al-Mal dengan pengelolanya yaitu yang disebut sebagai mudharib. Pada perjanjian Mudharabah ini, rabb al-mal menyetorkan modal usaha yang akan di kelola oleh mudharib dan hasil keuntungannya dibagi sesuai dengan kesepakan bersama kedua belah pihak dalam persentase: 50%:50%, 60%:40%, 70%:30%, 80%:20%, dari laba yang akan diperoleh.
Pada prinsip bagi-hasil ini, 100% modal berasal dari rabb al-mal dan 100% pengelolaan bisnisnya dilakukan oleh mudharib. Kalau nantinya dari usaha tersebut menghasilkan keuntungan, maka untung nya dibagi antara rabb al-mal dengan mudharib, kalau hasil usaha nya merugi, maka kerugian sepenuh nya ditanggung oleh rabb al- mal, sementara mudharib akan mengalami rugi waktu dan tenaga, tetapi apabila kerugian tersebut di sebabkan oleh kelalaian dari mudharib maka sudah sepatut nya mudharib bertanggung jawab juga atas terjadi nya kerugian pada usaha tersebut.

2.4  Bank Syariah Lebih Bertahan Dibanding Konvensional Disaaat Krisis Ekonomi
Dalam dunia perbankan Indonesia, dikenal dua jenis bank yaitu Bank Syariah dan Bank Konvensional. Masyarakat Indonesia masih awam dengan keberadaan dua bank tersebut, tanpa disadari bahwa keduanya memiliki perbedaan. Perbedaan keduanya beragam. Misalnya, dalam hal suku bunga bank.
Di samping itu, pelayanan kedua bank tersebut juga berbeda. Agar membuka pemahaman serta wawasan Anda mengenai fungsi dan keberadaan Bank Syariah maupun Bank Konvensional, AturDuit akan menjelaskan perbedaannya.
1.      Keuntungan Bank Syariah vs Konvensional
Kedua bank sama-sama memberikan keuntungan bagi nasabahnya. Hanya saja pemberian keuntungan kedua Bank ini berbeda bentuk. Menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Bank Konvensional merupakan bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan memberi keuntungan berupa suku bunga kepada nasabahnya. Sementara itu, dalam Bank Syariah, pemberian suku bunga sama sekali dihindarkan.
Bank Syariah : Keuntungan berasal dari pendekatan bagi hasil (al-mudharabah).
Bank Konvensional : Keuntungan berasal dari suku bunga dengan jumlah nominal tertentu. Selain itu, nasabah memperoleh keuntungan bunga simpanan yang tinggi, sedang kepentingan pemegang saham di antaranya adalah memperoleh spread yang optimal antara suku bunga simpanan dan suku bunga pinjaman (mengoptimalkan interest difference).
2.      Pengelolaan Dana
Perbedaan kedua bank ini juga terjadi dalam hal pengelolaan dana. Bank memiliki caranya masing-masing untuk mengelola dana nasabah agar terus berputar. Bahkan pemutaran keuangan dapat melalui produk apa saja. Bisa dari tabungan, deposito hingga giro. Akan tetapi, pada bank syariah, pegelolaan keuangan ini tak bisa sembarangan.
Bank Syariah : Pengelolaan keuangan dalam bentuk titipan maupun investasi. Segala pengelolaan yang berasal dan diinvestasikan pada kegiatan bisnis yang melanggar hukum Islam, seperti perdagangan barang-barang haram, perjudian (maisir), dan manipulatif (ghahar) sangat diharamkan.
Bank Konvensional : Pengelolaan keuangan bisa berasal dari sumber manapun tanpa harus mengetahui dari mana atau kemana uang tersebut disalurkan, selama debitur bisa membayar cicilan dengan rutin.
3.      Proses Transaksi Perbankan
Proses transaksi serta perjanjian yang terjadi di kedua bank menujukkan perbedaan. Dalam Bank Syariah, transkasi dilakukan sesuai prinsip Syariah Islam. Sementara pada Bank Konvensional semua transaksi dan perjanjian berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia.
Bank Syariah : Transaksi berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist dan telah difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Jenis transaksinya antara lain akad al-mudharabah (bagi hasil), al-musyarakah (perkongsian), al-musaqat (kerja sama tani), al-ba’i (bagi hasil), al-ijarah (sewa-menyewa), dan al-wakalah (keagenan).
Bank Konvensional : Transaksi berdasarkan pada hukum yang berlaku di negara Indonesia.
4.      Promosi dan Cicilan
Dua hal tersebut merupakan daya tarik bank dalam menjaring nasabah. Dan keduanya memiliki taktik masing-masing dalam memberian promosi dan juga cicilan. Apabila Bank Konvensional gemar menebar promosi dan cicilan yang menggiurkan misalnya cicilan 0% diberikan bagi nasabah yang memiliki tabungan di bank tertentu atau suku bunga tetap saat ingin membeli rumah. Nah, Bank Syariah juga memiliki caranya sendiri dalam memberikan promosi dan cicilan.
Bank Syariah : Program cicilan diterapkan dengan jumlah tetap berdasarkan keuntungan yang sudah disetujui antara pihak bank dan nasabah saat akad kredit. Sementara untuk pemberian promosi harus tersampaikan dengan jelas, tidak ambigu, dan transparan.
Bank Konvensional : Hampir setiap bulan memberikan promosi yang berbeda-beda dan bertujuan menarik nasabah untuk menggelontorkan uangnya di bank tersebut. Promosinya sangat beragam seperti pemberian suku bunga tetap atau fixed rate selama periode tertentu, sebelum akhirnya memberikan suku bunga berfluktuasi atau floating rate kepada nasabah.
5.      Sistem Bunga
Terdapat perbedaan dalam hal pemberian sistem bunga. Tentu seperti dijelaksan di poin sebelumnya bahwa Bank Syariah sangat mengesampingkan pemberian bunga karena tak sesuai dengan hukum Islam.
Bank Syariah : Eksistensi bunga diragukan kehalalannya oleh semua agama termasuk agama Islam. Maka itu, Bank Syariah tidak menganut sistem ini.
Bank Konvensional : Penentuan suku bunga dilakukan pada waktu akad dengan pedoman harus selalu menguntungkan pihak bank. Besarnya persentase didasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan. Jumlah pembayaran bunga tidak mengikat meskipun jumlah keuntungan berlipat ganda saat keadaan ekonomi sedang baik.












BAB III
KESIMPULAN

1.1  Kesimpulan
Dalam studi ekonomi makro disebutkan antara lain faktor suku bunga dapat menurunkan investasi. Jika investasi menurun maka otomatis akan menurunkan produksi dan akibat berikutnya suku bunga berpotensi menciptakan pengangguran dan kemiskinan. Atau dengan kata lain, suku bunga bisa berdampak bangkrutnya sektor produktif, dan menciptakan pengangguran bagi kehidupan masyarakat.
Terkait dengan kenaikan suku bunga acuan BI Rate yang dalam dua bulan berturut-turut naik 0,25 (Juni) dan 0,5 (Juli) menjadi 6,5% dari semula 5,75%, mengindikasikan terjadi perlambatan dalam perekonomian nasional. Jelas ini akan menghambat pertumbuhan pada tahun ini. Karena dunia usaha dipastikan mengalami kesulitan akibat tingginya suku bunga kredit perbankan sejalan dengan kenaikan suku bunga acuan tersebut.
Kebijakan Bank Indonesia (BI) yang bertujuan untuk meredam inflasi itu juga berimplikasi pada sektor riil lainnya. Dengan kondisi suku bunga BI Rate 6,5% akan membuat sulit bagi bangsa indonesia untuk menghasilkan perusahaan dan pengembangan sektor riil dalam sekala besar. Ini sesuai pendapat pakar ekonomi Lord Keyness, yang mengakui dan menyimpulkan bahwa suku bunga yang tinggi menyebabkan macetnya pasar atau terhentinya kegiatan industri, yang kemudian secara negatif mempengaruhi penerimaan masyarakat.
Di sisi lain, tingginya suku bunga simpanan (deposito) di bank akan membuat nasabah terus menerus mengendapkan dana di bank hingga tak terbatas waktunya. Logika sederhananya, jika seseorang mempunyai dana yang besar didalam bank, misalnya Rp 1 miliar, dengan bunga deposito 9% per tahun maka, tanpa bekerjapun orang tersebut akan menghasilkan uang sebanyak Rp 90 juta per tahunnya.
Namun di lain pihak, betapa banyaknya orang-orang atau para buruh yang sangat kecil gajinya, jika dalam kondisi sekarang dengan bekerja keraspun belum bisa menyaingi orang yang hanya menginvestasikan uangnya di bank tersebut, sementara pemilik dana tidak mempunyai risiko dalam menanamkan modalnya.
Jadi, dalam sistem bunga tinggi ini terjadi ketidakadilan perpindahan aset dari pemodal dan peminjam (debitur). Pemilik deposito menerima keuntungan hasil bunga yang pasti tanpa menanggung risiko seperti yang dihadapi debitur yang terimbas beban suku bunga tinggi. Inilah yang menciptakan ketimpangan dalam menggerakkan sektor riil dan bisnis di negeri ini di masa depan.
Fenomena suku bunga kredit tinggi di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak beberapa tahun yang lalu. Bahkan bunga pinjaman di Indonesia yang termahal di kawasan ASEAN. Sehingga tak mengherankan banyak bankir asing mengincar bisnis bank di negeri ini tergiur oleh tingginya suku bunga belakangan ini.
Herannya, BI sendiri mengakui kondisi ini tidak sekadar membebani nasabah, juga merugikan bank. Tinggi rendahnya suku bunga menjadi tolok ukur daya saing perbankan. Semakin tinggi bunga, semakin sulit bersaing. Celakanya, pada tahun 2015, ketika Masyarakat Ekonomi ASEAN berjalan, perbankan kita harus bersaing dengan bank dari negara kawasan yang terbiasa menerapkan bunga rendah.
Coba bayangkan jarak (spread) antara BI Rate dengan bunga kredit saat ini tinggi sekali. Idealnya hanya selisih 3% atau seharusnya bunga kredit maksimal 9,5%. Namun kalangan perbankan biasanya menambahkan faktor inflasi (7%), sehingga tingkat bunga kredit di pasar minimal 16,5% per tahun. Bandingkan dengan Malaysia dan Singapura yang saat ini cuma sebesar 5%-6% per tahun.
Jadi, langkah BI menaikkan suku bunga acuan tersebut terlihat kepentingan untuk menahan laju inflasi dan mengurangi defisit perdagangan, namun di sisi lain mengorbankan pertumbuhan ekonomi dan kegiatan sektor riil. Bagaimanapun kebijakan moneter bukan satu-satunya faktor penentu makroekonomi sebuah negara, melainkan perlu ada kebijakan makro lainnya yang saling mendukung untuk mempertahankan stabilitas ekonomi di Indonesia.










BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Firdaus Baderi. 2013. Bahaya Suku Bunga Tinggi
Imoney. 2017. Perbandigan Antara Bank Syariah Dan Bank Konvensional
Kumparan. 2017. Perbedaan System Bunga Dan System Bagi Hasil
akses pada tanggal 18 Oktober 2019)         
Putri, Dahlianti. 2016. Bank Kekinian Perbankan Syariah
Sherly Jihan. 2018. Penulisan Makalah
tanggal 18 September 2019)
Tribun. 2019. Perbedaan system bunga dengan system bagi hasil pada bank syariah dan



Tidak ada komentar:

Posting Komentar